Disarikan dari : M.Katie Gillis
Physical Therapy, Rose Mary M. Scully, Marylou R. Barnes
JB.Lippincot Company, Philadelphia. 1089.
Oleh : Roes.DS.
Berjalan
adalah suatu hal yang menjadi perhatian besar dan harapan dari pasien2
kita. Sebagai fisioterapis, kita berkewajiban dan selalu berupaya untuk
mampu melakukan assessment pola jalan pasien dengan tujuan akhir untuk
bisa mewujudkan harapan mereka, mengembangkan potensi mobilitas
tertinggi mereka. Untuk itu pada kesempatan kali ini marilah kita
bersama sama menengok lagi, menyegarkan memory kita akan pola jalan yang
normal, skill ketrampilan kita dalam melakukan observasi dan
menganalisa pola jalan. Tentu saja pemahaman tentang pola jalan yang
normal beserta parameter2 yang lazim dipakai, pathomekanikal (
pathological gait ) akan sangat diperlukan. Semua pengetahuan dan
ketrampilan tsb akan sangat bermanfaat saat kita terapkan diklinik FT,
sehingga bila ada dysfunction tidak akan terlewatkan begitu saja.
Semoga
methode ini bisa kita terapkan untuk mengatasi segala sesuatu yang
berkaitan dengan dysfunction gerak yang pada akhirnya akan menimbulkan
gait dysfunction. Methode ini bisa kita terapkan pada kondisi2,
misalnya; Amputasi, Arthritis, Hemiplegie, Ankle sprain, Multiple
Sclerosis, Gangguan Musculosceletal serta kondisi2 Neurologis.
Pasien2
dengan deficit neuromusculair, musculosceletal, cognitive seringkali
menampakan gejala menurunnya kapasitas fisik & kemampuan
fungsionalnya. Dimana selanjutnya akan menurun pula kemampuan
mobilitas/ambulatory, penurunan ini nanti akan nampak pada penurunan
nilai yang kita pakai sebagai acuan penilaian ( parameter ).
Keberhasilan
suatu upaya rehabilitasi tergantung pada kemampuan, ketrampilan kita
dalam melakukan evaluasi, menginterpretasikan data yang terkumpul.
Terapi / intervensi ditetapkan berdasarkan temuan2 dalam assessment (
identifikasi problema / diagnosis FT), dengan tujuan untuk mengatasi
masalah dan atau meminimalkannya.
Istilah2, Parameter yang dipakai :
Definisi Berjalan :
Berjalan
adalah berpindahnya tubuh dari satu titik, ketitik berikutnya dengan
cara menggunakan kedua tungkai (bipedal : posisi tubuh selalu tegak
selama proses berlangsung). Pola repetisi daripada penumpuan berat badan
dari satu tungkai ketungkai yang lain dengan heel – toe striding adalah
fenomena yang membedakan manusia dengan hominids yang lebih primitif (
Napier, 1967).
Cycle berjalan :
Satu cycle, dimulai dari heel strike, sampai tungkai yang sama mulai heel strike berikutnya.
Interval antara dua steps bisa dihitung jarak dan waktunya.
Stride legth :
Adalah jarak antara dua jejak kaki, pada kaki yang sama. Pada orang dewasa pria jaraknya antara 140 – 156,5cm.
Stride duration :
Adalah waktu yang dibutuhkan untuk jarak tersebut.
Step length :
Adalah jarak antara dua jejak kaki , baik dari kanan ke kiri atau sebaliknya. Jarak rata2nya adalah 68 – 78cm.
Step duration :
Adalah waktu yang dibutuhkan dari heel strike kaki yang satu ke heel strike kaki yang lain.
Cadence :
Adalah jumlah steps permenit, dimana nilai rata2nya adalah 112 – 116 permenit.
Parameter
tersebut diatas bisa kita pergunakan sebagai tolok ukur yang valid dan
obyektif dalam rangka assessment, analisa pola jalan pasien.
Gait
analisis memerlukan pendekatan yang akurat dan tersistem, pada phase
stance maupun swing. Pemahaman tentang gerakan2 yang terjadi pada
persendiannya serta ROM yang dibutuhkan untuk mencapai pola jalan normal
juga diassessment. Misalnya, ditungkai, pelvis dan trunk.
Komponent Gait Normal :
Seperti
telah dibahas, bahwa berjalan membutuhkan alternating support dari satu
tungkai ketungkai yang lain. Gerakan reciprocal ini dibutuhkan untuk
menerima, menyerap berat tubuh dan torque yang menyertainya, sehingga
proses berjalan akan berlangsung secara mulus (smooth), mengalir seperti
cairan tanpa ada interupsi dalam proses pemindahan berat tubuh kedepan.
Untuk mencapai pola jalan normal tergantung pada 3 kemampuan / task
fungsional, yaitu : 1). Weight Acceptance. 2). Single limb Support. 3).
Limb Advancement.
Ketiga fungsi tsb berlansung pada bidang sagital
ditinjau dari persendian yang bergerak, yaitu : hip, knee, ankle baik
pada phase atau sub phase swing maupun stance
Stance.
Initial Contact.
Initial
contact periodenya sangat singkat. Otot2 tibialis anterior dan extensor
jari2 mempertahankan ankle dalam posisi netral selama perode initial
contact ini. Hal ini dalam rangka persiapan ankle masuk keposisi untuk
melakukan apa yang dikenal sebagai heel rocker, yang terjadi pada
loading response.
Loading Response (LR).
Pada
saat loading response, aktifitas otot pada semua segment beraksi
melawan kecenderungan gerakan flexi yang timbul pada saat menerima beban
berat badan (terjadi di posterior ankle joint). Kontraksi eccentris
drpd otot2 anterior ankle meresponse plantar flexion torque, yang akan
membenturkan kaki kelantai (foot flap).
P3 FT di Fasilitas Pelayanan Kesehatan 4
Aksi
heel rocker ditimbulkan oleh otot2 bagian anterior, menarik tibia.
Sehingga muncul momentum kedepan dan memflexikan lututnya.
Lutut
flexi 15° dengan kontrol oleh Quadriceps yang berkontraksi secara
eccentris untuk melawan kecenderungan flexion torque akibat dari heel
rocker dan posisi tubuh yang relatif berada disebelah posterior kaki.
Dengan
kontrol plantar flexion dan knee flexion tadi maka weight acceptance
diabsorbsi, stabilitas tungkai tercapai dengan mantap sambil
mempertahankan momentum kedepan.
Hip tetap dalam posisi flexi 30° dan
pelvis forward rotasi 5°. Rapid, high-intensity flexion torque, adalah
torque kedua terbesar yang timbul dalam berjalan, torque ini dilawan
oleh gluteus maximus, hamstrings, adductors magnus dan gracillis yang
berkontraksi secara eccentris. Pelvis distabilisasi pada bidang frontal
oleh kerja otot gluteus medius, minimus dan tensor fascia lata. Dengan
kerja otot ini maka kecenderungan terjadinya trunk flexi dicegah
Mid Stance (MSt).
Selama
midstance ankle perlahan bergerak kearah 10° dalam usaha meningkatkan
torque dorsi flexi. Soleus dan gastrocnemius berkontraksi secara
eccentris untuk menstabilkan tibia. Tubuh berayun diatas kaki yang
stabil tadi dan menkontrol tibia sehingga lutut bergerak kearah extensi.
Kejadian inilah yang dikenal sebagai ankle rocker.
Hip extensi
bergerak ke posisi netral dengan pelvis rotasi yang ditimbulkan oleh
momentum swing drpd tungkai sisi contralateral. Konswekwensi dari
peristiwa ini adalah bahwa sebenarnya stabilitas pada stance phase tidak
membutuhkan kerja otot2 hip. Selanjutnya pelvis pada bidang frontal
distabilisasi oleh grup abductor, yang mencegah pelvis drop disisi
contralateral.
Terminal Stance (TSt).
Pada terminal stance, ankle
terkunci pada posisi netral→dorsiflexi kecil, metarso phalangeal joint
extensi 30°. Dorsi flexion torque mencapai puncaknya. Calf muscle tetap
aktif untuk mencegah tibia colapse dan membiarkan tumit terangkat
sementara berat tubuh berayun kedepan diatas kaki. Forefoot rocker
meningkatkan kemaximum forward progression untuk step length. Ada tiga
hal kritis yang memungkinkan terjadinya forefoot rocker yaitu : Locked
ankle, heel rise dan progression diatas kaki, semua hal tsb terjadi pada
periode single limb support. Secara universal terminal stance dikenal
dengan istilah push off. (istilah ini kurang akurat bila diterapkan pada
pasien dengan amputasi below knee dengan prosthesis).
Lutut tetap extensi saat extensi torque mulai berkurang pada akhir drpd subphase ini. Stabilitas tanpa memerlukan kerja otot.
Hip
tetap extensi→ netral posisi, 10° hyperextensi. Posisi ini disebabkan
oleh backward rotation pelvis 5° dan oleh extensi di lumbar spine.
Pre-swing (PSw).
Walaupun
subphase pre-swing adalah periode dimana masih ada double support,
tetapi dimasukan dalam kelompok swing, sebab pada phase ini gerakan yang
terjadi dilutut sebenarnya adalah gerakan persiapan untuk mengayun
tungkai kedepan dan mempersiapkan kaki bebas dari lantai untuk masuk
subphase initial swing. Selama pre swing berlangsung, ankle dalam posisi
20° plantar flexi, metetarso phalangeal joint
P3 FT di Fasilitas Pelayanan Kesehatan 5
extensi
sampai 60°. Selama periode double support berlangsung, kaki memberikan
bantuan balance dan relatif tidak dibutuhkan aktifitas otot. Torque
dorsiflexi timbul.
Lutut flexi 30°, secara pasif, walaupun demikian
gracillis mulai aktif. Torque flexi terjadi sebagai akibat dari
penumpuan tungkai contralateral serta oleh berayunnya tubuh kedepan
melewati jari2. Pada saat inilah flexi knee bertambah.
Hip tetap
netral→extension dan pelvis backward rotasi. Kedua posisi tersebut
dicapai secara pasif. M.Illiacus dan M.Rectus femoris aktif. Torque
extensi berkurang sampai nol. Tungkai bersiap untuk diayunkan.
Initial Swing (Isw)
Ankle
bergerak ke 10° plantar flexion, otot bagian anterior ankle
mempersiapkan kaki bebas dari lantai dan masuk subphase initial swing.
Lutut
flexi sampai 60° dan kaki bebas dari lantai. Selama periode ini sering
terjadi toe drag, karena tidak adequatnya flexi lutut dan dorsiflexi
ankle.
Kontribusi dari m.iiliacus, adductor longus, gracilis dan
sartorius membawa hip ke 20° flexi dan pelvis mulai forward rotasi.
Pelvis dan hip bergerak secara harmonis, terjadi forward rotasi pelvis
saat hip flexi. Sedangkan rotasi backward pelvis berkaitan dengan hip
extensi.
Midswing (MSw)
Ankle dalam posisi netral, otot bagian
anterior ankle aktif, ini adalah gerakan yang membebaskan kaki dari
lantai. Tibia mencapai posisi tegak lurus terhadap lantai saat lutut
mencapai 60° flexi. Biceps femoris tetap aktif mengkontrol dengan
eccentris kontraksi, walaupun momentum gerakan (primer) berlangsung
secara pasif.
Di hip gracilis tetap aktif untuk membantu menambah hip
flexi sampai 30°, juga menambah momentum kepada tungkai yang berayun
kedepan. Sedangkan sartorius, adductor longus dan iliacus menjadi tidak
aktif.
Terminal Swing (TSw)
Otot2 sebelah anterior ankle tetap
aktif untuk mempertahankan ankle dalam posisi netral selama subphase
terminal swing. Ini dalam rangka menjamin posisi ankle dalam posisi yang
tepat saat heel contact di phase weight acceptance pada subphase
initial contact berikutnya.
Aktifitas quadriceps secara concentris
menjamin knee extension sampai posisi lutut netral, sedang kontrol
gerakan dilakukan oleh hamstrings.
Hip tetap dalam posisi 30° flexi
dan terjadi 5° forward rotasi pelvis. Otot yang tetap aktif adalah
m.gracillis sebagai flexor hip. Kombinasi gerakan hip flexi, pelvis
rotasi dan knee extensi berkontribusi pada step length
Trunk Aktivity.
Trunk
tetap netral dan tegak dalam melalui semua phase gait. Trunk yang tegak
mengkonservasi energy dengan balancing berat tubuh diatas basis
support.Otot2 extensor trunk kontralateral berkontraksi secara eccentris
untuk mempertahankan trunk tetap tegak dibidang sagital dan frontal
selama proses weight acceptance. Perpindahan berat tubuh kebawah pada
initial kontak bertemu dengan kekuatan keatas pada saat tumit menyentuh
lantai. Kekuatan/force ini ditranfers ke pelvis dan trunk sehingga
menimbulkan kecenderungan gerak flexi trunk karena posisi trunk relatif
lebih keanterior.
Pathological Gait.
Motor dysfungsi sebagai
akibat dari impairment dari system2 neuromusculair, musculosceletal
serta fisiologis support dari fungsi tubuh akan berwujud dalam bentuk
menurunnya efisiensi gerakan, berkurangnya potensi mekanikal, serta
inadequate energy untuk bergerak. Ketika pasien mempunyai inkoordinasi
dalam kerja otot, inadequate kekuatan otot, keterbatasan ROM,
keseimbangan yang jelek, ketidak akuratan sensory integrasi serta ada
nyeri maka bisa diharapkan akan muncul gejala defisiency dalam
gait/berjalan. Luas dan type ketidaknormalan gait ditentukan oleh,
penyebabnya, seberapa banyak system yang terganggu.
Ada lima kelompok besar sebagai penyebab pathological gait. Lima hal tsb adalah :
1).
Nyeri. 2). Kelemahan. 3). Deformitas. 4). Sensory disturbance. 5)
Gangguan kerja otot yang berkaitan dengan gangguan / deficit fungsi CNS
seperti pada peningkatan kerja otot dan dyskinesia.
Pain :
Nyeri
bisa bersifat akut maupun kronik. Dengan adanya nyeri maka fungsi
gerakan akan terganggu. Pasien akan berusaha menghindari aktifitas2 atau
gerakan2 yang memperberat nyerinya. Akibatnya terjadi penurunan
mobilitas atau persendian tertahan dalam satu posisi tertentu, sehingga
malahan akan memperparah nyeri dan dysfungsinya. Dalam observasi akan
nampak phase stance tidak equal antara tungkai yang satu dengan yang
lain. Pasien akan mengkompensasi dengan bertumpu pada tungkai yang sehat
sehingga tekanan / kompresi terhadap persendian berkurang dengan
harapan nyerinya berkurang juga, pada perode weight bearing. Kompensasi /
upaya lain adalah dengan memperkecil arcus gerakan tungkai atau dengan
menurunkan kecepatan gerakan tungkai pada phase swing. Bila nyeri dengan
berbagai penyebab berlansung saat berjalan maka dalam observasi akan
kita temukan ; menurunnya stride length, cadence, velocity serta
unloding dini.
Weakness.
Kelumpuhan akibat dari kerusakan
musculotendineous atau kerusakan pada Anterior Horn Cell, myo-neural
junction, serabut otot akan sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan
berjalan. Meskipun demikian pasien dengan kelemahan otot yang luas masih
mungkin bisa berjalan asalkan sensory masih berfungsi, sensory
integration dan central motor control normal, serta tidak ada deformitas
yang parah. Bila ada kelemahan otot maka akan nampak pada fungsi
kontraksi eccentris atau restraining akan menurun, demikian juga pada
fungsi concentris. Misalnya pada kelemahan Quadriceps, maka kontrol
terhadap flexi knee pada periode loading response akan terganggu.
Jari2
yang diseret (toe drag) pada mid swing adalah tanda2 dari adanya
kelemahan atau kurang berfungsinya otot2 anterior ankle. Bila ada
kelemahan flexor hip maka akan ada kesulitan atau deviasi pada saat
mengayun tungkai kedepan. Stance stability akan terganggu bila otot2
lateral hip mengalami kelemahan, selanjutnya akan muncul pola jalan yang
khas, dimana contralateral hip/pelvis akan drop, trunk bertumpu
ditungkai sisi yang sama. Deviasi ini dikenal luas sebagai fenomena
Trendelenburg, sebagai akibat dari kelemahan gluteus medius. Apabila
gastrocnemius dan soleus lemah maka stabilisasi tibia selama periode
singgle limb support akan terganggu. Nampak pada observasi terjadi
dorsiflexi berlebihan sehingga tibia akan collapse selama periode
midstance dan terminal stance. Sebagai akibat ketidakstabilan tibia maka
momentum dan progression kedepan akan terganggu dengan manifestasi
menurunnya step length dan velocity.
Deformitas.
Deformitas yang
timbul sebagai komplikasi ketidak seimbangan kerja otot, peningkatan
aktifitas otot, congenital deformity, amputasi akan menimbulkan
disabilitas. Keterbatasan lingkup gerak sendi pasti akan menimbulkan
deviasi pola jalan, karena factor atau gerakan yang seharusnya muncul
tidak ada. Keterbatasan lingkup gerak sendi dikombinasi dengan kelemahan
otot atau hilangnya kontrol akan sangat mempengaruhi pola jalan secara
dramatis. Hilang atau berkurangnya mobilitas sendi adalah suatu hal yang
penting yang harus diperhatikan, karena selain pengaruh langsung
terhadap deviasi pola jalan, tetapi juga pengaruhnya terhadap
peningkatan tekanan/kompresi kepada persendian sekitar. Persendian
sekitar tsb akan melakukan kompensi dengan melakukan usaha yang
memerlukan energy extra untuk mensubstitusi fungsi gerakan yang hilang /
berkurang. Posisi berdiri normal membutuhkan hip dan knee dalam posisi
full extensi, dorsiflexi ankle 5°- 10°. Dengan posisi ini maka center
gravity akan relatif berada disebelah posterior axis hip joint dan
disebelah anterior knee joint, sehingga untuk mempertahankan posisi ini
relatif tidak diperlukan kerja otot baik di hip joint maupun di knee
joint. Sebaliknya bila posisi ini tidak tercapai maka diperlukan kerja
otot secara berlebih (extra energy) untuk mencapai balance. Posisi hip
joint dan knee joint yang tertahan dalam posisi flexi akan meningkatkan
tekanan/kompresi didalam persendiannya.
Bila posisi knee joint lebih
dari 30°fungsi ambulasi akan sulit dipenuhi atau bahkan tidak bisa
dipenuhi. Pasien dengan plantar flexi kontraktur 15°akan berjalan dengan
jarinya, dimana pola ini adalah bukan pilihan yang benar. Pasien akan
berupaya melakukan adaptasi kondisi tsb dengan berusaha untuk menapakan
kakinya. Bila usaha menapak kaki berhasil maka akan mengakibatkan
bergesernya berat tubuh kearah posterior kakinya, hal ini akan
menimbulkan gangguan keseimbangan. Untuk menghindari jatuh kebelakang
pasien akan berusaha mencondongkan / membungkukkan tubuhnya kedepan
diatas kaki yang bertumpu. Selain itu juga akan muncul toe drag saat
swing, untuk itu pasien berusaha membebaskan jari dari lantai dengan
berusaha meninggikan / memanjangkan tungkai sisi contralateral dengan
berjinjit untuk mencegah toe drag.
Sensory disturbance.
Impairment
sense terhadap posisi sendi adalah factor yang mempengaruhi terhadap
fungsi motor kontrol. Tanpa ada kesadaran mengenai posisi sendi dan
relasinya dengan segment yang lain maka kontrol gerakan akan sangat
tergantung pada input visual dan atau pemakaian alat2 bantu untuk
mengerem gerakan atau menghentikannya. Walaupun
P3 FT di Fasilitas Pelayanan Kesehatan 8
demikian
kedua hal tersebut masih tidak adequate sebagai kompensasi atas
hilangya fungsi proprioceptif. Manifestasinya adalah timbulnya toe drag,
gangguan stabilitas ankle baik arah medial maupun lateral selama
periode stance; hip flexi berlebihan saat swing.
Disorder aktifitas kerja otot.
Hal
ini bisa disebabkan oleh spinal cord injury, brain injury. Gerakan
terbatas pada pola synergist baik posisi flexi maupun extensi, seperti
nampak pada pasien hemiplegia. Kemampuan untuk bergerak secara
terkoordinasi, reciprocal seperti hip flexi dan knee extensi terganggu
atau hilang
Gangguan di central nervous system bisa terjadi sebagai
akibat dari trauma saat dilahirkan, congenital, overdosis obat, dsb.
Gejala yang muncul adalah dystonic. Reaksi yang berlebihan terhadap aksi
otot / gerakan, misalnya stretching, reaksi inilah yang dikenal luas
sebagai spastisitas. Brunstrom (1970) dan Bobath (1978) telah
mempelajari secara lebih detail kaitanya dengan pola jalan.
Gangguan
gerak pada kondisi cerebral palsy dengan berbagai syndroma, tergantung
dari seberapa banyak otot yang terlibat. Cerebral palsy diplegic,
misalnya, posisi berdirinya akan typical / khas. Meningkatnya aktifitas
flexor ditungkai mambawa hip dalam posisi flexi demikian juga knee
jointnya, denga berbagai variasi derajat ROM. Posisi flexi tadi
berkombinasi dengan adductors yang spastis akan menimbulkan fenomena
yang terkenal yaitu ‘Scissor Gait’
Bila aktifitas extensor meningkat,
maka akan timbul kekakuan dan terjadi pergeseran penumpuan berat tubuh
ke fore foot, varus di ankle, claw toes serta kesulitan untuk memulai
gerak reciprocal flexi – extensi pada saat berjalan.
Pada Parkinson’s
disease, dimana kekakuan sebagai problema besar, maka posisi tubuh akan
flexi dengan pola jalan ‘gait suffling’. Stride length menurun,
velocity menurun, periode double support bertambah lama. Pasien akan
mengalami kesulitan untuk mulai bergerak / melangkah, dan begitu
berhasil melangkah pasien akan kesulitan untuk mengkontrolnya / berhenti
(Festination).
blognya bagus, sangat bermanfaat. apalagi kalau ditambah contoh-contoh abnormal gaitnya + analysis. terimakasih
BalasHapus