Pendahuluan
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan klinis
akibat berkembangbiaknya mikroorganisme yang menyebabkan inflamasi pada
saluran kemih.1,2
ISK
merupakan salah satu infeksi yang paling sering dijumpai baik di negara
sedang berkembang maupun di negara maju sekalipun. ISK dapat terjadi
pada semua usia dan jenis kelamin dengan frekuensi dan gejala yang
berbeda-beda pada tiap kelompok umurnya.2
ISK pada anak-anak
merupakan hal yang perlu diwaspadai karena memiliki gejala yang tidak
spesifik sehingga diagnosa sering terlambat, padahal resiko kerusakan
ginjal yang progresif pada jangka panjangnya sekitar 25%. Untuk ISK
diperlukan perhatian yang khusus oleh para dokter pada lini depan dan
pengertian terhadap bahaya ISK pada bayi dan anak. Bila hal ini tidak
terdeteksi banyak diantaranya yang akan mengalami ISK berulang yang
dapat menyebabkan timbulnya parut pada ginjal bahkan kerusakan ginjal
yang permanen.3
Mengingat batasan tersebut, maka diagnosis ISK
memerlukan biakan mikroorganisme sebagai golden standar diagnosis.1-3
Kuman penyebab ISK yang paling sering ialah golongan Enterobacteriacceae
yang berasal dari perineum dan saluran percernaan. E.Coli merupakan
bakteri penyebab 80% kasus ISK selain golongan Klebsiella, Proteus,
Enterobacter, Pseudomonas, Streptococcus, dan golongan Staphylococcus.1
Epidemiologi
Infeksi
saluran kemih pada anak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Angka
rasio kejadian infeksi saluran kemih pada anak dilaporkan untuk rasio
bayi laki – laki dan perempuan pada awal kehidupan bayi adalah antara 3 :
1 dan 5 : 1. setelah masa bayi, anak perempuan lebih sering mengalami
infeksi saluran kemih dibandingkan laki – laki yaitu dengan rasio L/P 1 :
4 untuk infeksi yang simtomatis dan 1 : 25 untuk infeksi yang
asimtomatis pada anak usia sekolah, diduga faktor uretra yang lebih
pendek pada perempuan yang berperan dalam hal ini.
Data
prevalensi rumah sakit RSCM Jakarta dalam periode 3 tahun (1993-1995)
didapatkan 212 kasus ISK, dengan rata-rata 70 kasus baru per tahun. Data
studi kolaboratif pada 7 rumah sakit pusat pendidikan dokter di
Indonesia dalam kurun 5 tahun (1984-1989) dilaporkan angka kejadian
kasus baru ISK pada anak berkisar antara 0,1- 1,9% dari seluruh kasus
pediatric yang dirawat . Jumlah ISK kompleks di Jakarta lebih sedikit
dari ISK simpleks yaitu 22,2% dari 42 kasus ISK. Meskipun lebih sedikit
perlu mendapat perhatian khusus karena dapat bersifat progresif. 3
Angka
kekambuhan cukup tinggi yaitu pada anak perempuan 30% pada tahun
pertama dan 50% dalam 5 tahun kedepan. Sedangkan pada anak laki-laki
angka kekambuhan sekitar 15-20% pada tahun pertama dan setelah umur 1
tahun jarang ditemukan kekambuhan. ISK yang terjadi nosokomial di rumah
sakit pernah dilaporkan sebanyak 14,2% per 1000 penderita anak, hal ini
terjadi biasanya karena pemakaian kateter urin jangka panjang.3
Etiologi
Kuman
penyebab infeksi saluran kemih yang tersering adalah E. Coli yaitu
sekitar 80% – 90% kasus kasus ISK dan kuman patogen lainnya meliputi
Klebsiella-Enterobacter spp., Proteus spp., Enterococcus faecalis, dan
stafilokokus koagulase-negatif. Pada infeksi saluran kemih kronis sering
kali berkaitan dengan Pseudomonas spp., Proteus spp., enterokokus atau
Candida spp 2.
Patogenesis
Patogenesis ISK sangat kompleks
karena menyangkut interaksi dari berbagai faktor, baik dari pihak
penjamu ( host ) dan dari faktor virulensi kuman. Pada bayi, terutama
neonatus biasanya bersifat hematogen sebagai akibat terjadinya sepsis.
Sedangkan pada anak-anak infeksi biasanya berasal dari daerah perineum
yang kemudian menjalar secara ascendens sampai ke kandung kemih, ureter
atau ke parenkim ginjal.1
Bukti terjadinya ISK dengan jalur
asendens adalah ditemukannya strain bakteri yang sama didaerah perineum
penderita ISK, yang tidak ditemukan pada anak normal. Pada anak
laki-laki yang tidak disirkumsisi, bakteri patogen berasal dari flora di
bawah preputium dan frekuensi terjadinya ISK juga lebih besar.3
Faktor Penjamu (Host)
Tiap
individu memiliki kerentanan yang berbeda – beda terhadap ISK. Hal ini
dapat diterangkan oleh adanya faktor-faktor hospes, seperti produksi
antibodi uretra dan servikal (IgA), dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi perlekatan bakteri pada epitel introitus dan uretra.4 Tomm-
Horsfall glikoprotein dan IgA sekretori mencegah perlekatan bakteri
pada uroepitel. Pada anak dengan ISK berulang kadar IgA sekretori lebih
sedikit dibandingkan dengan anak normal. Hal ini menunjukkan adanya
defek respon imun terhadap infeksi.3
Imunosupresi, diabetes,
obstruksi saluran kemih, dan penyakit granulomatosa kronis adalah faktor
lain yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Bila
organisme dapat masuk ke dalam kandung kemih, beratnya infeksi dapat
menggambarkan virulensi bakteri.4
Refluks vesiko ureter (RVU)
merupakan factor penjamu utama untuk terjadinya pielonefritis pada anak.
RVU ditemukan pada 25-50% ( rata-rata) penderita ISK. Pada pasien
dengan ISK yang disertai RVU,80% menunjukkan gambaran parut ginjal
pielonefritik
Obstruksi dan beberapa kelainan uronefrotapi
congenital juga merupakan faktor predisposisi terjadinya ISK. Obstruksi
paling sering terjadi pada hubungan pelvio ureter, vesiko ureter dan
uretra posterior. Demikian pula kelainan fungsional saluran kemih
seperti buli-buli neurogenik dan non neurogenerik dapat menimbulkan
retensio urin atau inkontinesia yang dapat menimbulkan ISK.3
Faktor Virulensi Bakteri3
Bakteri
virulen berarti mempunyai kemampuan untuk menimbulkan infeksi. Bakteri
uropatogen adalah strain bakteri yang mempunyai faktor virulensi
spesifik untuk meninbulkan kolonisasi pada uroepitel.
Tahap awal
timbulnya infeksi adalah terjadi perlekatan bakteri pada sel epitel.
Tahap berikutnya baru terjadfi penetrasi bakteri ke jaringan, proses
inflamasi dan kerusakan sel. E.Coli mempunyai daya melekat pada
uroepitel karena adanya zat adhesion di membrane luar bakteri,pada
rambut-rambut (pili) spesifik yang disebut fimbrie. E. Coli
pieloenefritogenik mempunyai fimbrie yang dapat mengaglutinasi eritrosit
golongan darah P1, oleh kerena ISK disebut P-fimbrie.
Ada 2 tipe
fimbrie yaitu tipe I dan II. I ditemukan pada hampir semua E.Coli.
karena perlekatan tipe I pada sel dapat dihambat oleh D – Mannosa,
disebut “mannose sensitif”. Perlekatan tipe II tidak dapat dihambat oleh
D – Mannosa karena ISK disebut Mannosa resisten’. P- fimbrie termasuk
tipe II dan hanya ditemukan pada strain E.Coli tertentu. Reseptor untuk
P-fimbrie adalah suatu glikosfingolipid yang terdapat pada membrane sel
uroepitel, yaitu galaktosa a 1–4-galaktosa a (gal-gal pili). E.Coli
dengan P-fimbrie inilah yang dapat menyebabkan pielonefritis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa E. Coli pielonefritogenik 76-94% mengandung
P-fimbrie, sedangkan pada yang menyebabkan sistitis hanya ditemukan
pada 19-23%.
Faktor virulensi lain yang ditemukan pada E.Coli adalah:
1. Antigen K : suatu polisakarida pada kapsul yang dapat melindungi
bakteri terhadap lisis oleh komplemen dan fagositis. Juga lebih banyak
ditemukan pada anak dengan pielonefritis daripada sistisis.
2. Antigen O : bersifat toksik dan menyebabkan terjadinya dema, dan inflamasi.
3. Hemolisin : protein sitotoksik yang pada percobaan invitro dapat merusak sel epitel (tubulus)
4. Colisin (Colisin-V) : jenis protein yang dapat membunuh bakteri lain.
5. Aerobaktin : protein yang dapat mengikat dan menumpuk zat besi yang berguna untuk pertimbunan kumam.
Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya ISK3
- Anak perempuan
- Anak laki-laki tidak disirkumsisi
- Disfungsi miksi
- Obstipasi kronik
- Instrumentasi uretra
- Pemasangan kateter (buli-buli)jangka panjang
- Infestasi cacing kremi
- Buli-buli neurogenik dan non neurogenik
- Membersihkan feses dari bawah keatas
- Mandi busa
- Kelainan anatomi saluran kemih
. Uropati Obstruktif
. Adhesi labia
. Refluks vesiko ureter
- Batu saluran kemih
Manifestasi klinis
Infeksi
saluran kemih dapat simtomatik maupun asimtomatik. Pada bayi baru lahir
gejala dapat berupa demam, malas minum, ikterus, hambatan pertumbuhan,
atau tanda-tanda sepsis. Pada masa bayi gejala sering berupa panas yang
tidak diketahu penyebabnya, nafsu makan berkurang, gangguan pertumbuhan
berkurang, kadang – kadang diare atau kencing sangat berbau. Pada usia
prasekolah berupa sakit perut, muntah, demam, sering kencing, dan
mengompol. Pada usia sekolah gejala spesifik makin nyata berupa
mengompol, sering kencing sakit waktu kencing, atau sakit pinggang 4.
Demam
dan sakit pinggang merupakan gejala ISK bagian atas (ureter, pielum,
dan ginjal) sedangkan gejala ISK bagian bawah ( kandung kemih dan
uretra) biasanya lebih ringan, umumnya berupa disuria, polakisuria, atau
kencing mengedan, tanpa demam.
Pada infeksi kronis atau berulang dapat terjadi tanda – tanda gagal ginjal menahun atau hipertensi serta ganguan pertumbuhan.
Secara umum gejala klinis dari infeksi saluran kemih berbeda – beda yaitu tergantung dari umurnya, berikut uraiannya :
Umur
0 – 1 bulan : Gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah dan diare,
kejang, koma, panas / hipotermia tanpa diketahui sebabnya
Umur 1
– 24 bulan: Panas / hipotermia tanpa diketahui sebabnya, gangguan
pertumbuhan, anoreksia, muntah, diare, kejang, koma, kolik (anak
menjerit keras), air kemih berbau / berubah warna, kadang – kadang
disertai nyeri perut /pinggang.
Umur 2 – 6 tahun : Panas /
hipotermia tanpa diketahui sebabnya, tidak dapat menahan kencing,
polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna,
diare, muntah, gangguan pertumbuhan serta anoreksia.
Umur 6 – 18
tahun : Nyeri perut / pinggang, panas tanpa diketahui sebabnya,
tidak dapat menahan kencing, polikisuria, disuria, enuresis, air kemih
berbau dan berubah warna.
Diagnosis 1
Pada Infeksi saluran
kemih yang simptomatis, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis
yang ditemukan dan dengan adanya jumlah bakteri yang bermakna dalam urin
yang seharusnya steril dengan atau tanpa disertai piuria. Bila ditekan
silinder leukosit, maka kemungkinan pielonefritis perlu dipertimbangkan.
Pemeriksaan
laboratorium yang terpenting untuk menegakkan diagnosis Infeksi saluran
kemih adalah biakan urine dan pemeriksaan urine lengkap.
1. Biakan urin
penanpungan urin untuk pembiakan dapat dilakukan dengan 3 cara :
1. Urin pancaran tengah (midstream urien)
2. Kateterisasi kandung kemih
3. Pungsi kandung kemih (supra public puncture,SPP)
Sebelum
pengambilan contoh urin perlu dilakukan tindakan asepsis. Pada
pengambilan cara a dan b. genetalia eksterna dibersihkan dulu dengan air
bersih atau larutan sublimate 1%. Pada anak perempuan labia minor harus
dibuka dan pada anak laki- laki preputium perlu ditarik kebelakang pada
saat pembersihan. Pungsi kandung kemih dilakukan sebagai berikut:
daerah suprapubis dibersihkan dengan larutan jodium 2 dan alcohol 70%.
Sebelumnya anak disuruh menahan kencing selama ± 1 jam dan dilanjurkan
banyak minum. Pungsi dilakukan dengan jarum semprit 5 atau 10 ml, pada
tempat kira-kira 0,5-1 cm diatas simfisis pubis.
Dengan cara a
dan b, biakan urin dianggap positif atau bermakna bila didapat jumlah
kuman 100.000 atau lebih per-mililiter urin. Jumlah kuman antara
10.000-100.000/ml urin dianggap meragukan dan perlu diulang. Bila jumlah
kurang dari 10.000/ml urin maka hasil ini dianggap sebagai kontaminasi.
Sebaiknya biakan urin dilakukan dua kali berturut-turut agar didapatkan
hasil yang lebih pasti (derajat kepastian 95%).
Hasil biakan
urin dengan cara pengambilan pungsi kandung kemih dianggap positif atau
bermakna bila ditemukan 200 kuman atau lebih per-mililiter urin.
Hal
lain yang perlu dilakukan ialah waktu antara pengiriman bahan dan
penanaman dalam media biakan. Bila urin dibiarkan dalam suhu kamar
selama ½ jam atau lebih maka cepat membiak sehingga akan menberikan
hasil yang positif palsu. Bila urin tidak segera dikirim kelaboratorium,
maka harus disimpan selama 24-48 jam tanpa merubah jumlah kuman.
Cara
lain yang lebih mudah dan sederhana untuk mendeteksi bakteri urin ialah
dengan pemeriksan bakteriologis semikuantitatif misalnya dengan
microstix (Ames,co). caranya ialah dengan mencelupkan microstix ke dalam
urin yang tampung seperti pada biakan konvensional, kemudian diinkubasi
selama 24 jam. Dengan cara ini ternyata ditemukan korelasi yan tinggi
dengan hasil biakan secara konvensional dengan kepekaan sebesar 93,8%
dan spesifitas 95,5%.
1. Pemeriksaan urin lengkap
Bila
pada pemeriksaan sediment urin ditemukan piuria pada 50% kasus ISK.
Tidak ada korelasi yang pasti antara piuria dan bakteriuria, tetapi pada
seiap kasus dengan piuria haruslah dicurigai kemungkinan adanya ISK.
Pemeriksaan yang penting dilakukan ialah Pielografi intravena (PIV) dan Miksio-sisto-uretrografi (MSU).
Kedua
pemeriksaan tersebut sedapat mungkin dilakukan pada semua penderita
ISK. Pemeriksaan PIV dapat memberikan gambaran tentang kemungkinan
terjadinya pielonefritis kronis dengan melihat bentuk dan besarnya kedua
ginjal, adanya gambaran yang asimetri antara kedua ginjal karena
perbedaan bentuk dan ukurannya, kalises yang tumpul dan atau melebar
atau terbentuknya jaringan parut. Juga dapat ditemukan tanda – tanda
kelainan kongenital maupun kelainan obstruktif atau kelaianan anatomis.
Pada pemeriksaan MSU dapat ditemukan tanda-tanda refluks vesiko-ureter
atau penyempitan pada muara uretra.
Pemeriksaan lain yang perlu
dilakukan ialah pemeriksaan kadar ureum dan kratinin darah atau yang
lebih teliti lagi bila diperiksa klerens ureum dan kratinin untuk
mengetahui derajat fungsi ginjal.
ISK bagian atas dan bawah
Dalam
penanganan dan pengobatan perlu diketahui apakah infeksi terdapat pada
traktus urinarius bagian atas (ureter,pielim dan ginjal) atau hanya pada
bagian bawah (kandung kencing dan uretra).
ISK bagianatas
dianggap lebih berat karena dapat mengakibatkan kerusakan ginjal.
Menbedakan kedua lokasi infeksi ini tindaklah mudah pada seorang anak,
terutama pada bayi. Pemeriksaan langsung terhadap infeksi bagian atas
dapat dilakukan dengan biakan urin yang diambil dengan kateterisasi dari
kedua ureter, namun hal ini jarang dilakukan pada anak karena dapat
bersifat traumatis. pemeriksaan secara tidak langsung yang memberi
petunjuk kearah ISK baian atas adalah terdapatnya gejala demam, sakit
pinggang, terdapatnya silinder leukosit diurin, laju endap darah yang
meninggi dan peninggian kadar protein C-reaktif. pemeriksaan lain yang
lebih sukar adalah biakan urin dengan bladder washout technique
(penampungan urin setelah pencucian buli-buli dengan larutan aseptic),
antibodi coated bacteria (pemeriksaan bakteri yang diliputi oleh
antibodi ) dan sebagainya. Penurunan pungsi ginjal, hipertensi, azotemia
dan terdapatnya parut ginjal (pyelonephiritic scaming) pada pemeriksaan
radiology menjurus pada ISK bagian atas.
ISK bagian bawah
biasanya lebih ringan, umumnya tanpa gejala demam, hanya ditandai dengan
gejala lokal seperti disuria, polakisuria atau kencing mengedan. Pada
pemeriksaan sedimen urin sering ditemukan leukosit yang berkelompok.
Pengobatan dan pelaksanaan
1. pengobatan secara umum, yaitu terhadap panas, muntah, dehidrasi dan
lain-lain. Disamping ISK anak juga dianjurkan untuk banyak minum dan
jangan menbiasakan kencing.
Pengobatan simtomatik terhadap
keluhan sakit kencing dapat diberikan penazofiridin (piridium) 7-10
mg/kgbb/hari. Disamping ISK perlu juga mencari dan mengurangi atau
menghilangkan factor predisposisi seperti obstipasi, alergi, investasi
cacing dan memberikan kebersihan perineum meskipun usaha-usaha ini
kadang-kadang tidak selalu berhasil.
1. Pengobatan khusus
Penanggulangan ISK ditujukan terhadap 3 hal, yaitu:
1.
1. pengobatan terhadap infeksi akut
2. pengobatan dan pencegahan infeksi berulang
3. Mendeteksi dan melakukan koreksi bedah terhadap kelainan
anatomis, congenital maupun yang didapat, pada traktus urinarius.
1. pengobatan infeksi akut.
Pengobatan
yang segera dan adekuat pada fase akut dapat mencegah atau mengurangi
kemungkinan timbulnya pielonefritis kronis. Pada keadaan berat atau
panas tinggi dan keadaan umum yang lemah, pengobatan segera dilakukan
tanpa menunggu hasil biakan urin dan uji resistensi kuman. Pada infeksi
akut yang simpleks (uncomplicated infection) diberikan antibiotika
/kemoterapi oral. Obat yang sering dipakai sebagai pilihan utama
(primary drug) ialah ampisilin, kontrimoksazol, sulfisoksazol, asam
nalidiksat dan nitrofurantion. Sebagai pilihan kedua (secondary drug)
dapat dipakai obat galongan aminoglikosid (gentamisin, sisomisin,
amikasin dan lain-lain); sefakleksin, doksisiklin dan sebagainya.
Pengobatan diberikan selama 7 hari.
1. Pengobatan dan pencegahan infeksi berulang
Dalam
pengamatan selanjutnya 30-50% penderita akan mengalami infeksi berulang
dan sekitar 50% diantaranya tanpa gejala. Oleh karena itu perlu
dilakukan biakan ulang pada minggu pertama sesudah selesai pengobatan
fase akut, kemudian 1 bulan, 3 bulan dan seterusnya setiap 3 bulan
selama 2 tahun. Setiap infeksi berulang harus diobati seperti pengobatan
pada fase akut. Bila relaps atau reinfeksi terjadi lebih ari 2 kali,
maka pengobatan dilanjutkan dengan pengobatan profilaksis, dengan
obat-obat anti septis urin, yaitu nitrofurantion, kontrimoksazol,
sefaleksin atau metenamin mandelat. Pada umumnya diberikan seperempat
dosis normal, satu kali sehari pada malam hari slama 3 bulan. Bila
infeksi traktus urinarus disertai dengan kelainan anatomis (disebut ISK
kompleks atau complicated urinary infection), maka hasil pengobatan
biasanya kurang memuaskan. Pemberian obat disesuaikan dengan hasil uji
resistensi dan dilakukan dengan terapi profilaksis selama 6 bulan dan
bila perlu sampai 2 tahun.
1. Koreksi pembedahan
Bila
pada pemeriksaan radioogis ditemukan obtruksi, maka perlu dilakukan
koreksi bedah. Penanganan terhadap refluks tergantung dari derajat
stadiumnya. Refluks stadium I sampai III biasanya akan menghilang dengan
pengobatan terhadap infeksinya. Pada stadium IV perlu dilakukan koreksi
bedah yaitu dengan reimplantasi ureter pada kandung kemih
(ureteroneosistostomi). Pada keadaan-keadaan tertentu misalnya pada
pionefritis atrofik kronik, tindakan nefrektomi kadang-kadang perlu
dilakukan.
Antibiotika 5
* Neonatus
– ampisilina : 50-100 mg/kg BB/24 jam IM/1V , dibagi 3-4 dosis
- Gentamisin : 5-7 mg/kg BB/24 jam IM/1V , dibagi 2-3 dosis
- Tobramisin : 5-7 mg/kg BB/24 jam im/1V ,dibagi 2-3 dosis
Antibiotika diberikan selama 10-14 hari
* Anak
- Kotimoksazol : 4-8 mg TMP /kg BB/24 jam IM/1V , dibagi 2dosis
- Ampisilina : 50-100 mg/kg BB/24 JAM IM/1V ,dibagi 3-4 dosis
- Amoksilina : 50-100 mb/kg BB/24 jam IM/1V ,dibagi 3-4 dosis
- Safaleksin : 50-100 mg/kg BB/24 jam IM/1V , dibagi 3-4 dosis
- Asam nalikdisat : 50 mg/kg BB24 jam IM/1V , dibagi 3 dosis
- Nitrofurantoin : 3-5 mg/kg BB/jam IM/1V ,dibagi 3 dosis
Prognosis
ISK
tanpa kelainan anatomis menpunyai prognosis lebih baik bila dilakukan
pengobatan pada fase akut yang andekuat dan disertai pengawasan terhadap
kemungkinan infeksi berulang. Pognosis jangka panjang pada sebagian
besar penderita dengan kelainan anatomis umumnya kurang memuaskan
meskipun telah diberikan pengobatan yang andekuat dan dilakukan koreksi
bedah , hal ini terjadi terutama pada penderita dengan nefropati
refluks. Deteksi dini terhadap adanya kelainan anatomis, pengobatan yang
segera pada fase akut, kerjasama yang baik antara dokter, ahli bedah
urologi dan orang tua penderita sangat diperlukan untuk mencegah
terjadinya perburukan yang mengarah ke fase gagal ginjal kronis 1.
KESIMPULAN
Anak
dengan diagnosis ISK dievaluasi secara sistematik. Jenis pemeriksaan
bergabung kepada umur dan manifestasi klinik. Bayi dan anak dibawah 2
tahun perlu dilakukan pemeriksaan USG dan MSU. Pencitraan skan DMSA
merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk melihat pielonefritis dan
parut ginjal.
Terapi antibiotik idealnya disesuaikan dengan hasil
pemeriksaan resistensi kuman. Pada anak dengan gejala penyakit yang
berat antibiotik dapat diberikan segera, tetapi sebelumnya diambil urin
untuk pemeriksaan biakan. Anak dengan gejala ISK yang ringan cukup
diberi terapi antibiotik oral selama 7 hari. Pada anak dengan
pielonefritis akut lama pengobatan 10-14 hari. Bila ditemukan gejala
toksik atau disertai muntah – muntah anak perlu perlu dirawat dan
diberikan antibiotik parenteral. Neonatus dengan ISK harus dirawat dan
diberikan antibiotik parenteral selama 14 hari.
Pengobatan
antibiotik pada bakteriuria asimtomatik tidak perlu diberikan.
Pengobatan antibiotik profilaksis diberikan pada anak dengan ISK
berulang > 3x atau pada yang disertai RVU.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief Abdul, Napitupulu Partogi,et al.,1985, Ilmu Kesehatan Anak 2,Infomedika, Jakarta.
2. Sjahrurachman Agus, Mirawati T.,et al.,2004, Etiologi Dan
Resistensi Bakteri penyebab Infeksi Saluran Kemih Di R.S. Cipto
Mangunkusomo Dan R.S. Metropolitan Medical Center Jakarta 2001-2003
dalam Naskah lengkap the 4th Jakarta Nephrology And Hypertension Course,
pp 51-63, Pernefri 2004, Jakarta.
3. Alatas Husein, 2002, Diagnosa
Dan Tatalaksana Infeksi Saluran Kemih Pada Anak dalam Hot Topics In
pediatrics II, pp 162-179, PKB IKA XLV, Balai Penerbit FKUI Jakarta.
4. Behrman, Kliegman, Arvin, Nelson, 1996, Nelson Textbook Of
Pediatrics, 15th en,pp 1863-5, WB Saunders Compay, Philadelphia,
Pennysilvania.
5. Noer Sjaifullah, 1994, Infeksi Saluran Kemih Pada
Anak dalam Pedoman Diagnosis dan terapi lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak,pp
119-121, Falkutas kedokteran UNAIR, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar