Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis) , pelatihan fungsi, dan komunikasi. (Kepmenkes RI No. 1363/MENKES/SK/XII/2f01)

Selasa, 10 Januari 2012

TERAPI ULTRASONIK (US)



TERAPI ULTRASONIK (US)
By : joko santoso.Amf (physiotherapist of PT.GULA PUTIH MATARAM)

Pengertian
Terapi dengan menggunakan mekanisme getaran dari gelombang suaradengan frekuensi tinggi lebih dari 20.000 Hz.

Tujuan
1. Membantu mempercepat proses penyembuhan jaringan lunak.
2. Membantu mengurangi rasa nyeri pada otot dan sendi.
3. Membantu meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan.
4. Membantu relaksasi otot dan mengurangi spasme otot.

Ultrasound therapy

Fisioterapi memiliki tanggung jawab di dalam kesehatan gerak fungsional sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan. Dalam pelaksanaan di pergunakan berbagai metodologi intervensi fisioterapi, termasuk penggunaan stesor-stesor fisis didalam rangkaian modalitas fisioterapi. Modalitas fisioterapi memiliki berbagai macam atau jenis, yang salah satunya ialah ultra sonik.
Gelombang ultra sonik yang merupakan gelombang suara yang di peroleh dari getaran yang memiliki frekwensi 0,1 hingga 5 MHz. Gelombang ini dapat di kelompokkan menurut fungsinya dengan frekwensi dan intensitas masing-masing (Lehmaun 1990)
Untuk diagnostik
frekwensi
intensitas
echocardiography
5 M Hz
3,4 mW/cm²
echophalography
5 M Hz
3,4 mW/cm²
doppler blood flow
5 s.d 10 M Hz
203 m/W/cm²
obstretical doopler
2,25 M Hz
6,3 m/W/cm²
untuk surgical / bedah
gallostone ablation
0,01 M Hz
20 s.d 100 W/cm²
untuk terapetik
physical medicine & rehabilitation
0,75 s.d 3 M Hz
0.1 s.d 5 W/cm²
a. Generator Ultra Sonik
Pesawat ultra sonik merupakan suatu generator yang menghasilkan arus bolak balik berfrekwensi tinggi (high frequency alternating current) yang mencapai 0,75 s.d 3 MHz. Arus ini berjalan menembus kabel koaksial pada transducer yang kemudian di konversikan menjadi vibrasi oleh adanya efek piezoelektrik.
Efek piezoelektrik ini pertama kali diperkenalkan oleh

TRAKSI CERVICAL DAN LUMBAL


TRAKSI CERVICAL ( TRAKSI LEHER)
By : joko santoso.Amf (physiotherapist of PT.GULA PUTIH MATARAM)

Pengertian
Suatu tehnik terapi dengan menggunakan mesin mekanis berupa tarikan /peregangan pada daerah cervical (leher).
Tujuan
1. Membantu merelaksasi otot-otot daerah leher dan pundak (cervical)
2. Membantu mengurangi penekanan/ kompresi/iritasi akar syaraf.
3. Membantu penguluran / peregangan otot-otot vertebrae regio cervical.

TRAKSI LUMBAL ( TRAKSI PINGGANG)

Pengertian
Suatu tehnik terapi dengan menggunakan mesin mekanis berupa tarikan /peregangan pada pinggang dan pelvis.

Tujuan
1. Membantu merelaksasi otot-otot daerah pinggang (lumbal).
2. Membantu mengurangi penekanan/ kompresi/iritasi akar syaraf.
3. Membantu penguluran / peregangan otot-otot vertebrae regio lumbal.

NASO PHARINGEAL SUCTION


Pengertian
Suatu cara untuk mengeluarkan secret dari saluran nafas dengan menggunakan suction kateter yang dimasukkan melalui hidung atau rongga mulut kedalam pharyng atau trachea.

Tujuan
1. Untuk memelihara saluran nafas tetap bersih.
2. Untuk mengeluarkan

PARAFFIN BATH


PENDAHULUAN
Hidro terapi merupakan salah satu modalitas Fisioterapis yang dalam pelaksanaannya memanfaatkan pegaruh suhu, mekanik, chemis dan tekanan dari zat cair. Pada pemanfaatan zat cair sebagai media terapi dengan suhu, dijumpai dua pengelompokan besar yaitu panas dan dingin. Pemanfaatan suhu zat cair dapat berupa Cryotherapy, parafin bath, contras bath, hot bath, hot pack, dll.

Parafin bath merupakan salah satu metode hidroterapi yang

TERAPI MICRO WAVE DIATHERMY (MWD)


TERAPI MICRO WAVE DIATHERMY (MWD)
By : joko santoso.Amf (physiotherapist of PT.GULA PUTIH MATARAM)

Pengertian
Terapi dengan menggunakan energi gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus bolak balik frekuensi tinggi 2450 MHz dengan panjang gelombang 12,25 centimeter.

Tujuan
1. Membantu meningkatkan sirkulasi limpatik dan sirkulasi darah lokal.
2. Membantu relaksasi otot dan meningkatkan elastisitas jaringan ikat yang letak kedalamannya kurang lebih 3 cm.
3. Membantu meningkatkan proses perbaikan jaringan secara fisiologis.
4. Membantu mengurangi rasa nyeri pada otot dan sendi.

TERAPI INHALASI


TERAPI INHALASI
By : joko santoso.Amf (physiotherapist of PT.GULA PUTIH MATARAM)

Pengertian
Suatu cara pemberian obat-obatan dengan penghirupan setelah obat-obatan tersebut dipecahkan menjadi partikel-partikel melalui cara aerosasi, humidifikasi.

Tujuan
1. Relaksasi dari spasme bronchial.
2. Menekan proses peradangan.
3. Membantu mengencerkan slijm/dahak.
4. Memproduksi hiperaemi dalam mukosa bronchial, menekan batuk.

Indikasi:
1. Penyakit saluran nafas bagian atas.Akut maupun kronis seperti sinusitis, alergi rhinitis, laryngitis, rhinopharingitis.
2. Penyakit saluran nafas bagian bawah.Akut maupun kronis seperti bronchial asthma, COPD, bronchopneumonia, atelektasis.
3. Bayi dengan secret yang berlebihan.

Bahaya Inhalasi:
1. Terjadinya reflex bronchospasme.
2. Kontaminasi bakteri.
3. Aspirasi.
4. Penumpukan secret.
5. Bahaya spesifik dari obat-obatan.

FARADISASI


Pengertian
Pengobatan dengan menggunakan arus faradic listrik arus bolak-balik yang diinduksikan, mempunyai frekwensi rendah 50 – 100 Hz dengan panjang gelombang 0,01 – 1 mSec.

Tujuan
1. Membantu memberikan kemudahan kontraksi otot.
2. Mendidik kembali kontraksi otot dan membantu dalam memperbaiki perasaan gerak.
3. Melatih otot-otot yang paralysis, baik anggota gerak atas maupun anggota gerak bawah.

Indikasi :
1. Paralysis atau parese otot-otot perifer.
2. Bell’s palsy/facial paralisis.
3. Kondisi neuropraksia.

Kontra indikasi :
1. Adanya gangguan sensibilitas pada daerah yang akan di obati.
2. Adanya luka terbuka pada daerah yang akan diobati.
3. Adanya metal implant.

Selasa, 03 Januari 2012

Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) dengan Alat

Cara ini dilakukan bila pengelolaan jalan nafas tanpa alat tidak berhasil dengan sempurna dan fasilitas tersedia.
Peralatan dapat berupa :
a. Pemasangan Pipa (tube)
  • Dipasang jalan nafas buatan dengan pipa, bisa berupa pipa orofaring (mayo), pipa nasofaring atau pipa endotrakea tergantung kondisi korban.
  • Penggunaan pipa orofaring dapat digunakan untuk mempertahankan jalan nafas tetap terbuka dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan nafas terutama bagi penderita tidak sadar
  • Pemasangan pipa endotrakea akan menjamin jalan nafas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan pernafasan
b. Pengisapan benda cair (suctioning)
  • Bila terdapat sumbatan jalan nafas oleh benda cair. Pengisapan dilakukan dengan alat bantu pengisap (pengisap manual atau dengan mesin)
  • Pada penderita trauma basis cranii maka digunakan suction yang keras untuk mencegah suction masuk ke dasar tengkorak
c. Membersihkan benda asing padat dalam jalan nafas
  • Bila pasien tidak sadar terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring maka tidak mungkin dilakukan sapuan jari, maka digunakan alat Bantu berupa : laringoskop, alat pengisap, alat penjepit.
d. Membuka jalan nafas
  • Dapat dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi
  • Cara ini dipilih bila pada kasus yang mana pemasangan pipa endotrakeal tidak mungkin dilakukan, dipilih tindakan krikotirotomi dengan jarum. Untuk petugas medis yang terlatih, dapat melakukan krikotirotomi dengan pisau atau trakeostomi.
e. Proteksi servikal
  • Dalam mengelola jalan nafas, jangan sampai melupakan control servikal terutama pada multiple trauma atau tersangka cedera tulang leher.
  • Dipasang dari tempat kejadian. Usahakan leher jangan banyak bergerak. Posisi kepala harus “in line” (segaris dengan sumbu vertikal tubuh)

clip_image002
Gambar 1. Sebagian peralatan pengelolaan jalan napas

Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) Tanpa Alat

Pengertian : tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap memperhatikan kontrol servikal
Tujuan : membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh
Pemeriksaan Jalan Napas :
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi penolong


clip_image002[13]
Gambar 1. Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan. Cara ini dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan.
Tindakan
Membuka jalan nafas dengan proteksi cervikal
  • Chin Lift maneuver (tindakan mengangkat dagu)
  • Jaw thrust maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah)
  • Head Tilt maneuver (tindakan menekan dahi)
Gambar  dan penjelasan lihat dibawah.
Ingat! Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan maneuver jaw thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.
  • Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah.
  • Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari.
  • Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas (apnea)
  • Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada sumbatan pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich.

clip_image002[15]
Gambar 2. Pemeriksaan sumbatan jalan nafas di daerah mulut dengan menggunakan teknik cross finger
Tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas tambahan) :
  • Mendengkur(snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara mengatasi : chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal.
  • Berkumur (gargling), penyebab : ada cairan di daerah hipofaring. Cara mengatasi : finger sweep, pengisapan/suction.
  • Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi : cricotirotomi, trakeostomi.
2. Membersihkan jalan nafas
Sapuan jari (finger sweep)
Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya sehingga hembusan nafas hilang.
Cara melakukannya :
  • Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver emaresi)
  • Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan sarung tangan/kassa/kain untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan menyapu.

clip_image002[19]
Gambar 3. Tehnik finger sweep
3. Mengatasi sumbatan nafas parsial
Dapat digunakan teknik manual thrust
  • Abdominal thrust
  • Chest thrust
  • Back blow
Gambar dan penjelasan lihat di bawah!
Jika sumbatan tidak teratasi, maka penderita akan :
  • Gelisah oleh karena hipoksia
  • Gerak otot nafas tambahan (retraksi sela iga, tracheal tug)
  • Gerak dada dan perut paradoksal
  • Sianosis
  • Kelelahan dan meninggal
Prioritas utama dalam manajemen jalan nafas adalah JALAN NAFAS BEBAS!
  • Pasien sadar, ajak bicara. Bicara jelas dan lancar berarti jalan nafas bebas
  • Beri oksigen bila ada 6 liter/menit
  • Jaga tulang leher : baringkan penderita di tempat datar, wajah ke depan, posisi leher netral
  • Nilai apakah ada suara nafas tambahan.
clip_image002


Gambar4. Pasien tidak sadar dengan posisi terlentang, perhatikan jalan nafasnya! Pangkal lidah tampak menutupi jalan nafas
Lakukan teknik chin lift atau jaw thrust untuk membuka jalan nafas. Ingat tempatkan korban pada tempat yang datar! Kepala dan leher korban jangan terganjal!
Chin Lift
Dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan
Caranya : gunakan jari tengah dan telunjuk untuk memegang tulang dagu pasien kemudian angkat.
Head Tilt
Dlilakukan bila jalan nafas tertutup oleh lidah pasien, Ingat! Tidak boleh dilakukan pada pasien dugaan fraktur servikal.
Caranya : letakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah sehingga kepala menjadi tengadah dan penyangga leher tegang dan lidahpun terangkat ke depan.
clip_image002[7]
Gambar 5. tangan kanan melakukan  Chin lift ( dagu diangkat). dan tangan kiri melakukan head tilt. Pangkal lidah tidak lagi menutupi jalan nafas.
Jaw thrust
Caranya : dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas

clip_image002[9]
clip_image002[11]

Gambar 6 dan 7. manuver Jaw thrust dikerjakan oleh orang yang terlatih
Mengatasi sumbatan parsial/sebagian. Digunakan untuk membebaskan sumbatan dari benda padat.


clip_image002[21]
Gambar 8. Tampak ada orang yang tersedak atau tersumbat jalan nafasnya

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich)
Dapat dilakukan dalam posisi berdiri dan terlentang.
Caranya berikan hentakan mendadak pada ulu hati (daerah subdiafragma – abdomen).
Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi berdiri atau duduk
Caranya : penolong harus berdiri di belakang korban, lingkari pinggang korban dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas.
Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (tidak sadar)
Caranya : korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke atas. Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan kedua diletakkan di atas tangan pertama. Penolong menekan ke arah perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas.
Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP).
Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada yang dilakukan sendiri
Pertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas.
Caranya : kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum, genggam kepala itu dengan kuat, beri tekanan ke atas kea rah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika tidk berhasil dapat dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi

clip_image002[23]
Gambar 9. Abdominal Thrust dalam posisi berdiri
Back Blow (untuk bayi)
Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae)


clip_image002[25]
Gambar 10. Back blow pada bayi
Chest Thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil)
Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukan chest thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan

VERTIGO


vertigo
By : joko santoso.Amf (physiotherapist of PT.GULA PUTIH MATARAM)

Ada beberapa pengobatan gangguan keseimbangan (pada telinga) selain obat-obat yang diminum, yaitu rehabilitasi/fisioterapi dalam hal ini latihan gerakan kepala dan badan. Pertama kali umumnya harus dibantu oleh dokter untuk melakukannya.
Di sini saya membicarakan latihan terapi gangguan keseimbangan/vertigo akibat perubahan posisi kepala ( istilah medis : BPPV - Benign Paroxysmal Positional Vertigo ).
Ada beberapa latihan yaitu : Canalit Reposition Treatment (CRT) / Epley manouver, Rolling / Barbeque maneuver, Semont Liberatory maneuver dan Brand-Darroff exercise (saya belum menemukan istilahnya dalam bahasa Indonesia). Dari beberapa latihan ini kadang memerlukan seseorang untuk membantunya tapi ada juga yang dapat dikerjakan sendiri.
Dari beberapa latihan, umumnya yang dilakukan pertama adalah CRT atau Semont Liberatory, jika masih terasa ada sisa baru dilakukan Brand-Darroff exercise.
Latihan CRT / Epley manouver :
Pertama posisi duduk, kepala menoleh ke kiri ( pada gangguan keseimbangan / vertigo telinga kiri ) (1), kemudian langsung tidur sampai kepala menggantung di pinggir tempat tidur (2), tunggu jika terasa berputar / vertigo sampai hilang, kemudian putar kepala ke arah kanan ( sebaliknya ) perlahan sampai muka menghadap ke lantai (3), tunggu sampai hilang rasa vertigo, kemudian duduk dengan kepala tetap pada posisi menoleh ke kanan dan kemudian ke arah lantai (4), masing-masing gerakan ditunggu lebih kurang 30 – 60 detik. Dapat dilakukan juga untuk sisi yang lain berulang kali sampai terasa vertigo hilang.
Untuk Rolling / Barbeque maneuver, dilakukan dengan cara berguling sampai 360′, mula-mula posisi tiduran kepala menghadap ke atas, jika vertigo kiri, mulai berguling ke kiri ( kepala dan badan ) secara perlahan-lahan, jika timbul vertigo, berhenti dulu tapi jangan balik lagi, sampai hilang, setelah hilang berguling diteruskan, sampai akhirnya kembali ke posisi semula.

Latihan Semont Liberatory :



Keterangan Gambar :
Pertama posisi duduk (1), untuk gangguan vertigo telinga kanan, kepala menoleh ke kiri, kemudian langsung bergerak ke kanan sampai menyentuh tempat tidur (2) dengan posisi kepala tetap, tunggu sampai vertigo hilang (30-6- detik), kemudian tanpa merubah posisi kepala berbalik arah ke sisi kiri (3), tunggu 30-60 detik, baru kembali ke posisi semula. Hal ini dapat dilakukan dari arah sebaliknya, berulang kali.

Latihan Brand-Darroff exercise :



Keterangan Gambar :
Hampir sama dengan Semont Liberatory, hanya posisi kepala berbeda, pertama posisi duduk, arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan, kemudian balik posisi duduk, arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke sisi kiri, masing-masing gerakan ditunggu kira-kira 1 menit, dapat dilakukan berulang kali,pertama cukup 1-2 kali kiri kanan, besoknya makin bertambah.
Mungkin ada yang bertanya, apasih gunanya gerakan kepala dan badan itu, mungkin kalau saya terangkan akan membuat kepala jadi mumet /vertigo, tapi itu adalah gerakan yang telah dilakukan penelitian dan telah berhasil.
Sebaiknya juga harus diperiksakan terlebih dahulu untuk memastikan penyebab vertigo / gangguan keseimbangannya.

REHABILITASI UNTUK TENIS ELBOW

“7 Langkah Latihan yang Menakjubkan”
Oleh: Tim L. Uhl, P.T., A.T.,C.
Alih bahasa: Arif Yulianto, SSt.FT
“7 langkah latihan yang menakjubkan” (the super 7 exercises) merupakan bagian terapi yang sangat penting untuk tennis elbow. Latihan ini didesain untuk penguatan otot lengan bawah dan meningkatkan fleksibilitas melalui penguluran. Kebanyakan latihan ini akan membantu menghilangkan nyeri siku dalam 4 sampai 6 minggu, setiap latihan penguluran dilakukan selama 15 detik dan diulangi 2 sampai 3 kali. Pola ini diulang-ulang 5 kali perhari.


Latihan 1. penguluran otot ekstensor dengan mem-plantarfleksi-kan pergelangan tangan: Meluruskan lengan secara penuh dan mendorong telapak tangan ke bawah, jadi anda merasakan penguluran penuh pada bagian atas lengan bawah.


Latihan 2. penguluran otot fleksor dengan men-dorsifleksi-kan pergelangan tangan. Gerakan kebalikan dari latihan 1: Meluruskan lengan secara penuh (talapak tangan menghadap keatas) dan mendorong telapak tangan ke bawah. Latihan penguatan dilakukan dua kali sehari mengikuti latihan penguluran. Untuk melakukan latihan ini, pasien duduk di kursi dengan siku disangga pada pinggiran kursi dan pergelangan tangan menggantung di depan. Gunakan beban yang ringan seperti palu atau yang lainnya yang dapat dipakai untuk latihan penguatan. Ulangi latihannya 30 sampai 50 kali, dua kali sehari, tetapi jangan memaksakan diri sampai melampaui titik nyeri.
Latihan 3. penguatan otot ekstensor pergelangan tangan: pegang beban dengan telapak tangan menghadap ke bawah. Angkat pergelangan tangan ke atas. Tahan pada posisi ini selama 2 detik kemudian turunkan perlahan-lahan.
Latihan 4. penguatan otot fleksor pergelangan tangan: pegang beban dengan telapak tangan menghadap ke atas. Angkat pergelangan tangan keatas, tahan selama 2 detik kemudian turunkan perlahan-lahan.
Latihan 5. penguatan otot ulnar dan radial deviator pergelangan tangan: pegang beban dengan ibu jari menunjuk ke atas. Gerakan pergelangan tangan ke atas dan ke bawah, seperti gerakan memukul paku. Semua gerakan harus dilakukan oleh pergelangan tangan.
Latihan 6. penguatan otot pronator dan supinator pergelangan tangan: pegang beban dengan ibu jari menunjuk ke atas. Putar pergelangan tangan ke dalam secara maksimal dan kemudian putar ke luar secara maksimal. Tahan selama 2 detik dan ulangi sebanyak mungkin, lebih dari 50 pengulangan.
Latihan 7. pijatan dilakukan pada daerah nyeri. Gunakan tekanan yang lunak dengan menggunakan 2 jari pada daerah nyeri dan pijatlah selama 5 menit


Jika latihan ini malah memperburuk kondisi anda, segera hubungilah fisioterapis anda. Latihan ini dapat digunakan sebagai pencegahan atau rehabilitasi terhadap cidera pada pemain olah raga atau pada seseorang yang melakukan pengulangan gerakan pada lengan bawahnya ketika bekerja.

Gangguan TMJ dan Manual terapi

Sumber : arif-sugiri.blogspot


Sendi temporomandibular (Temporomandibular Joint) dibentuk oleh tulang mandibula (tulang rahang bawah) dan tulang temporal pada tengkorak dan terletak di depan telinga. Diantara dua dataran sendi tersebut terdapat discus cartilago (bantalan sendi). Otot masetter dan temporalis berfungsi untuk memperkuat sendi ini, menjadikan sendi ini paling berguna bagi tubuh. sendi temporomandibular bertanggung jawab pada semua gerakan rahang, diantaranya mengunyak, menelan, bernafas dan berbicara, termasuk juga menguap.

Gangguan-gangguan TMJ
Penyebab terjadinya sindroma TMJ sama dengan sendi-sendi yang lain pada tubuh. Arthritis, kerusakan kartilago, dislokasi, terluka, semuanya memungkinkan munculnya nyeri dan disfungsi. Otot-otot yang menggerakkan sendi ini juga menjadi subyek dari kelelahan/kelemahan, terluka dan penyakit. Dari yang ringan sampai yang berat dan nyeri berat dapat muncul pada sendi, atau otot, atau kedua-duanya. Spasme otot sangat berhubungan dengan gangguan sendi ini. Karena beberapa saraf dan otot juga sangat kompleks pada area ini, dan ketika otot-otot ini mengalami spasme, masalah yang muncul akan juga mengenai daerah yang jauh dari sumbernya. Gejalanya juga kadang berhubungan dengan kondisi mengunyah.

Gejala-gejalanya antara lain ;
- suara ‘klik’ atau letupan pada rahang,
- nyeri wajah
- rahang terkunci atau terbatas gerakannya.
- sakit kepala
- nyeri dibelakang telinga
- pusing atau pening
- nyeri telinga atau telingan berdengung
- gigi gemeratak
- nyeri leher, bahu atau punggung
- mati rasa atau kesemutan pada jari-jari

Penyebab penyakit TMJ sangat bervariasi dan bisa menjadi sulit untuk dibedakan. Untuk pasien yang pernah mengalami gangguan TMJ karena luka atau trauma, ini sudah jelas bahwa luka telah terjadi, bagaimanapun luka tidak selalu secara langsung mengenai sendi. Contohnya, kecelakaan mobil yang menyebabkan ‘whiplash injury’ pada kepala dan leher dapat melukai sendi temporomandibular. Penuaan juga dapat mempengaruhi sendi ini. Sepertiga dari populasi yang berusia lebih dari 50 tahun mempunyai tanda-tanda osteoarthritis pada sendi mereka, termasuk diantaranya sendi temporomandibular. Kebiasaan makan, bagimanapun, sering juga terjadi pada pasien yang lebih muda dari 50 tahun. Pasien-pasien ini biasanya menutupi penyebab problem mereka ketika ditanyakan kebiasaan makan mereka. Memasukkan lidah, menguap lebar, menggigit kuku, mengunyah permen karet, gigi menggeretak atau ‘mencengkeram’, adalah beberapa aktivitas-aktivitas yang dapat menyebabkan rahang pada posisi abnormal dan kerobekan pada struktur sendi temporomandibular. Tindakan kebiasaan pada sendi temporomandibular menyebabkan pemakaian yang sama dan luka robek yang sering terjadi pada beberapa aktivitas manusia, terutama para atlit yang berkompetisi yang mengakibatkan kerusakan sendi melalui gerakan-gerakan berulang. Sindroma TMJ dapat juga dihubungkan dengan masalah mengunyah/menggigit, garis rahan, problem pada gigi, dan stress.


Terapi
Pilihan-pilihan terapi untuk pasien yang mempunyai simdroma TMJ adalah bervasiasi dan terkadang bertolak belakang. Terapi untuk sindroma TMJ yang paling berhasil yaitu ketika gejala-gejalanya diketahui secara dini dan mencari jenis terapi dengan cepat. Semakin lama anda menunda untuk mencari pengobatan, semakin lama anda akan mendapatkan pemecahan masalahnya. Akan semakin parah jika rahang anda menjadi cacat karena disfungsi sendi.
Seringkali, petugas kesehatan dapat merekomendasikan rencana terapi koservatif berupa mengistirahatkan otot-otot rahang dengan memakan makanan yang lunak dan menghindari makanan yang mengharuskan rahang terbuka lebar, seperti jagung yang masih di tongkol, sandwich yang besar, atau apel. Anda mungkin disarankan juga untuk berhenti mengunyak permen karet, menggigit kuku, dan menegangkan rahang. Terapi juga termasuk kompres panas selama 30 menit dua kali sehari untuk merilekskan otot rahang, atau terapi es selama 20 menit dua kali sehari untuk menurunkan inflamasi dan rasa sakit pasa otot-otot rahang.
Terapis atau anda dapat mencoba pilihan-pilihan terapi yang bervariasi, termasuk medikasi atau meresepkan pemakaian ‘splint’ untuk mencegah bertambahnya pemakaian dan kerobekan pada sendi. Pembedahan untuk meningkatkan ‘alignment’ gigi bagian atas dan bawah juga merupakan pilih, tetapi biasanya hanya berupa cadangan untuk kasus-kasus yang berat dan juga ketika tidak ada rencana terapi yang berhasil. Gangguan pada TMJ dapat ditanggulangi dan sering kali dapat dipecahkan dengan aplikasi kompres panas dan dingin, diet ringan, pengobatan anti inflamasi dan merubah beberapa kebiasaan.
Bentuk pengobatan yang lain berupa penerapan manual terapi, dan ini sering terlupakan.
Bagaimana manual terapi bekerja pada disfungis TMJ ?
Manual terapi adalah salah satu teknik terapi dengan menggunakan ketrampilan tangan, dan dilakukan oleh ahlo manual terapi dengan beberapa teknik manipulasi sendi berupa traksi dan translasi/sliding, manipulasi otot berupa massage, friction, dan transfer friction.
Pada disfungsi TMJ ini massage diberikan terlebih dulu sebelum dilakukan traksi dan translasi pada sendinya. Massage berfungsi untuk memberikan efek relaksasi pada otot-otot yang mengalami spasme. Traksi dan translasi berfungsi untuk membebaskan sendi yang terkunci atau terbatas, atau mengembalikan posisi sendi yang mengalami dislokasi.
Massage tidak hanya diberikan pada otot-otot disekitar sendi rahang, tetapi juga diberikan pada otot-otot lainnya yang tidak mustahil juga mengalami spasme seperti ; otot-otot leher, bahu dan pungung. Traksi dan translasi juga tidak hanya diberikan pada sendi rahang saja, tetapi juga diberikan pada sendi-sendi cervical, thoracocervical, dan thoracal.
Dengan teknik yang benar semua gejala disfungsi TMJ insya Allah akan dapat disembuhkan.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan pembaca menghubungi ahli manual terapi, atau bisa memberikan komentar pada link ini.

PENATALAKSANAAN STIMULASI ELEKTRIS PADA STROKE

Ditulis oleh : Heru Purbo Kuntono, Dipl. PT, M.Kes

ABSTRAK

Meskipun mekanisme secara nyata belum jelas, system saraf secara kontinyu beradaptasi terhadapstimulasi lingkungan, reorganisasi ini disebut “neural plasticity”. Sistem saraf perifer atau system saraf pusat (SSP) mempunyai kemampuan yang sangat progres untuk penyembuhan dari cedera / injury melalui proses “collateral suprouting” dan reklamasi sinaps atau “ synaptic reclamation”. Perbaikan spontan secara kompleks merupakan suatu pengecualian dari aturan presentasi yang bermakna dari trauma sistem saraf. Neural plasticity merupakan hal yang penting untuk mendidik kembali fungsi otot dan aplikasi fasilitasi.
Stimulasi saraf pada suatu otot melaui saraf perifer menunjukkan peningkatan neuromuskuler plastisitas secara adekuat. Stimulasi elektris juga merangsang otot berkontraksi, pada penjumlahan kontrksi otot secara langsung, akan mempengaruhi aktivitas afferent dari muscle spindle dan golgi tendon yang akan memberikan informasi terhadap system saraf pusat untuk sistem fasilitasi dan inhibisi. Selama itu stimulasi elektris juga akan memberikan fasilitasi dan reedukasi terhadap kontraksi otot yang akan diinduksikan ke sistem saraf pusat sehingga mempengaruhi neural plasticity terutama pada stadium recovery pada cedera sistem saraf pusat (SSP). Pada stroke (CVA) dengan spastisitas elektrikal stimulasi akan mengurangi spastisitas melalui mekanisme “reciprocal inhibition”.

PENDAHULUAN

Penderita stroke mempunyai hubungan bermakna terhadap reorganisasi yang disebut neural plasticity dalam proses perbaikan system sarafnya. Disamping itu penderita stroke akan mengalami gangguan fungsi motorik, sensorik, kognitif dan psikiatrik (emosional).
Intervensi penyembuhan saraf penderita stroke harus juga ditangani secara menyeluruh sejak fase awal hinga fase penyembuhan. Tindakan meliputi pendekatan fisik (physial therapy), pendekatan medis (perawatan dan obat-obatan) dan pendekatan psikiatrik. Pendekatan fisik dengan segala aspek kapasitas fisik dan kemampuan fungsional penderita stroke merupakan salah satu topik yang menjadi perhatian pada dekade akhir-akhir ini.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang (1) neural plasticity yang mendasari perkembangan sensorik dan motorik dalam penyembuhan fungsional dan (2) intervensi stimulasi elektris dalam upaya mendidik kembali fungsi otot dan aplikasi fasilitasi serta mengontrol spastisitasnya.

NEURAL PLASTICITY
Proses perbaikan pada penderita stroke banyak diselidiki para ahli. Pada fase primer awal perbaikan fungsional neurology berupa perbaikan lesi primer oleh penyerapan kembali edema di otak dan membaiknya sistem vaskularisasi. Dalam beberapa waktu kemudian berlanjut ke perbaikan fungsi aksonal atau aktivasi sinaps yang tidak efektif.Pada penderita stroke, perbaikan fungsi neuron berlangsung kurang lebih dalam waktu satu tahun. Prediksi perbaikan ini sangat tergantung dari luasnya defisit neurologis awal, perkembangan tensi, ukuran dan topis lesi di otak, serta keadaan sebelumnya. Keadaan ini juga dipengaruhi oleh usia, nutrisi dan tindakan terapi (physical therapy) yang juga merupakan faktor yang menentukan dalam proses perbaikan.

REORGANISASI DARI FUNGSI
Kemampuan otak untuk memodifikasi dan mereorganisasi fungsi dan fungsi yang mengalami cedera / kerusakan disebut neural plasticity. Kemampuan otak beradaptasi untuk memperbaiki, mengatasi perubahan lingkungannya ( bahaya-bahaya) melalui penyatuan neural kembali dikelompokkan menjadi:

a.Suprouting (collateral suprouting)
Merupakan respon neuron daerah yang tidak mengalami cedera dari sel-sel yang utuh ke daerah yang denervasi setelah cedera. Perbaikan fungsi SSP dapat berlangsung beberapa bulan ataun tahun setelah cedera dan dapat terjadi secara luas di otak pada daerah septal nucleus, hipokampus, dan system saraf tepi.

b.Unmasking
Dalam keadaan normal, banyak akson dan sinaps yang tidak aktif. Apabila jalur utama mengalami kerusakan maka fungsinya akan diambil oleh akson dan sinaps yang tidak aktif tadi. Menurut Wall dan Kabat, jalur sinapsis mempunyai treshold yang sangat tinggi. Karena mempunyai mekanisme homeostatic. Dimana penurunan masukan akan menyebabkan kenaikan eksibilitas sinapsnya

c.Diachisia (Dissipation of diachisia)
Keadan ini dimana didapat kehilangan keseimbangan fungsi atau adanya hambatan fungsi dari traktus-traktus central di otak.

Perbaikan fungsi setelah penyembuhan akan didapatkan melaui dua cara yang harus dipikirkan yaitu:
1.Latihan gerak / Stimulasi elektris untuk mempengaruhi fasilitasi dan mendidik kembali fungsi otot serta aplikasi fasilitasi terhadap sisi anggota yang lesi.
2.Latihan/ stimulasi elektris untuk mempengaruhi gerak kompensasi sebagai pengganti daerah yang lesi
3.Stimulasi elektris mengontrol spastisitas.

Pada fase penyembuhan ini latihan atau stimulasi elektris sangat berpengaruh dalam derajat maupun kecepatan perbaikan fungsi . Stimulasi sedini mungkin yang dilakukan secara berulang – ulang akan menjadi gerak yang terkontrol/ terkendali.

COUNTER BALANCE DAN COUNTER ACTIVITY
Rotasi trunk
Mobilitas ekstrimitas
Pola jalan
Spastisitas
Mekanisme reflek postural normal

Counter balance dan counter activity akan mempengaruhi tonus pada ekstensor trunk (erector spine) dan gluteus maksimus sehingga menghambat rotasi trunk, pola jalan, meningkatkan spastisitas dan pola sinergis.
Mekanisme reflek postural normal selalu digunakan untuk mengontrol tonus.


INTERVENSI STIMULASI ELEKTRIS

a. Muscle re-education and fascilitation
Stimulasi elektris pada prisipnya harus menimbulkan kontraksi otot, sehingga akan merangsang golgi tendon dan muscle spindle. Rangsangan pada muscle spindle dan golgi tendon akan diinformasikan melalui afferent ke susunan saraf pusat sehingga akan mengkontribusikan fasilitasi dan inhibisi.
-Rangsangan elektris yang diulang – ulang akan memberikan informasi ke “ supra spinal mechanism” sehingga terjadi pola gerak terintegrasi dan menjadi gerakan – gerakan pola fungsional .
-Stimulasi elektris melalui saraf motorik perifir melatih fungsi tangan “ graps” dan “ release” serta dapat memberikan fasilitasi pada otot yang lemah dalam melakukan gerakan.
-Pada kondisi CVA spastik stimulus elektris menurunkan spastisitas melalui mekanisme “ resiprocal inhibition “.
Penelitian Gersh (1991) menjelaskan bahwa stimulus elektris pada otot deltoid dengan menggunakan IDC pada waktu 3 bulan pada CVA selama stadium flacid sampai recovery mampu mengembalikan caput humeri yang mengalami luxasio

b. Orthotic Substitution pada aktivitas kontraksi otot agonis akan membentuk relaksasi pada otot antagonis.
Stimulasi elektris yang diaplikasikan pada gerakan dorsi fleksi ankle akan memberikan fasilitasi kontraksi dengan memperbaiki pola jalan (gait training) selama swing phase (fase ayunan).
Fasilitasi regio gluteal dan otot kuadriseps akan membentu memberikan stabilisasi selama fase “stance” dari gait dan juga pada group plantar flexor ankle dan hamstring akan memfasilitasi push off sehingga akan lebih baik pola jalannya terutama pada penderita post CVA.

PENATALAKSANAAN

1.Aplikasi antagonis
Pemberian stimulasi elektris ditujukan pada kelompok antagonis , bertujuan melawan otot agonis yang potensial menjadi spastik.
Stimulus antagonis pada stadium awal akan bermanfaat untuk fasilitasi kontraksi dan menghambat pola sinergis yang dapat mengganggu pola gerak. Jenis alat listrik yang digunakan interrupted direct current, interferensi dan TENS.
Dosis pemberian stimulasi 15 – 20 per-menit dengan frekuensi setiap hari minimal 3 minggu.
Pada kondisi yang sudah memasuki stadium recovery dengan gejala spastisitas kuat maka , pemberian stimulus elektris harus dibarengi dengan posisioning pasien secara benar .

2.Aplikasi agonis
Pelaksanaan stimulus elektris pada kelompok agonis bertujuan untuk mencapai target kontraksi secara optimal sehingga otot akan mengalami relaksasi setelah target tepenuhi. Pada metode ini dapat juga digunakan untuk tujuan reposisi pada sendi yang mengalami subluksasi, sehingga dengan kontraksi otot yang dapat mulai memberikan gaya untuk menarik posisi sendi ke arah yang semestinya. Sebagai contoh adalah subluksasi kaput humeri terhadap cavitas glenoidalis yang sering dijumpai pada pasien pasca CVA.
Jenis arus listrik yang digunakan adalah yang bersifat progressive dengan kontraksi tetanik , misalnya arus faradic , IDC dan DIADYNAMIS.

3.Sensory habituation
Teori ini menjelaskan bahwa spastisitas oleh karena adanya mekanisme terlepasnya kontak tonus pada tingkat spinal dan supra spinal akibat adanya informasi sensoris yang tidak benar.
Cranenburgh (1989), mengatakan bahwa daerah yang paling padat dilalui oleh setiap informasi sensoris adalah regio thorakal (Thorakal 1 – 12 ). Pada regio thorakal informasi sensoris berasal dari regio innervasi somatis dan regio innervasi simpatis perifer saling melintasi pada tempat yang sama. Pemberian stimulasi elektris pada level thorakal 1 – 12 (regio thorakal ) akan membantu memberikan informasi yang benar melalui mekanisme “sensory habituation” sehingga setiap impuls langsung sensory yag menuju daerah thorakal diharapkan akan lebih terkendali. Arus listrik yang digunakan adalah stimulus (1) thermal hangat atau dingin pada regio thorakal dan (2) penggunaan arus yang menuju mendepolarisasi sel sensorik pada level somatic maupun sympatis perifer sehingga terjadi adaptasi sensory. Adaptasi sensoris menurunkan ketegangan tonus termasuk spastisitas.

Pelaksanaan
Stimulasi elektris menggunakan arus interferensi atau thermal hangat (SWD, IR) pada regio punggung sensory habituation dapat dilakukan melaui pemberian stimulasi pada sisi yang sehat untuk mempengaruhi myostatic reflex pada posisi yang lesi.

DEFINISI STROKE


Stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi bio-kimia, yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan itu. Stroke adalah penyebab kematian yang ketiga di Amerika Serikat dan banyak negara industri di Eropa (Jauch, 2005). Bila dapat diselamatkan, kadang-kadang si penderita mengalami kelumpuhan pada anggota badannya, hilangnya sebagian ingatan atau kemampuan bicaranya. Untuk menggarisbawahi betapa seriusnya stroke ini, beberapa tahun belakangan ini telah semakin populer istilah serangan otak. Istilah ini berpadanan dengan istilah yang sudah dikenal luas, "serangan jantung". stroke terjadi karena cabang pembuluh darah terhambat oleh emboli. emboli bisa berupa kolesterol atau mungkin udara.

Jenis Stroke

Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik maupun stroke hemorragik. Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis ini.

Pada stroke hemorragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70 persen kasus stroke hemorrhagik terjadi pada penderita hipertensi.

Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung.

Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil.

Pembuluh darah arteri karotis dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu katupnya. Stroke semacam ini disebut emboli serebral (emboli = sumbatan, serebral = pembuluh darah otak) yang paling sering terjadi pada penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium).

Emboli lemak jarang menyebabkan stroke. Emboli lemak terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri.

Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat-obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke.

Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke bisa terjadi jika tekanan darah rendahnya sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi jika seseorang mengalami kehilangan darah yang banyak karena cedera atau pembedahan, serangan jantung atau irama jantung yang abnormal.

Pria Lajang Mudah Kena Stroke


KOMPAS.com — Menikahlah, menjadi sehat dan berbahagialah. Para lajang, khususnya pria, ternyata memiliki risiko lebih besar untuk terkena stroke. Demikian kesimpulan sebuah studi yang melibatkan lebih dari 10.000 pria.

Setelah menyisihkan faktor stroke lainnya, pria yang melajang pada tahun 1960-an berisiko hingga 64 persen untuk terkena stroke tiga dekade (30 tahun) kemudian dibandingkan rekan mereka yang menikah. Namun, risiko terkena stroke pada pria yang menikah juga masih tinggi, terutama yang pernikahannya tidak bahagia.

Hasil penelitian yang dipresentasikan dalam konferensi American Stroke Association tahun 2010 itu konsisten dengan berbagai literatur yang menyebutkan bahwa dukungan dari pasangan bisa meningkatkan status kesehatan seseorang.

"Orang yang menikah biasanya lebih peduli pada kesehatan. Mereka lebih sering menemui dokter bila sakit dan cenderung punya pola makan sehat," kata Daniel Lackland, profesor epidemiolog dan neuroscience dari Medical University of South Caroline, AS.

Studi mengenai stroke dan status pernikahan ini dilakukan oleh para ilmuwan di Israel yang melibatkan 10.059 pria yang berpartisipasi dalam Israeli Ischemic Heart Disease Study tahun 1963. Dengan menggunakan catatan kematian, para peneliti mencari rekam jejak kesehatan para responden hingga tahun 1997.

Sekitar 8,4 persen yang melajang pada tahun 1963, baik itu karena masih membujang, bercerai, maupun duda karena istri meninggal, ternyata meninggal karena stroke setelah 34 tahun. Angka itu sedikit lebih besar dibanding orang yang menikah, 7,1 persen.

Hasil analisis juga menunjukkan faktor sosial ekonomi dan faktor risiko lain, seperti kegemukan, hipertensi, dan merokok. Ada atau tidaknya penyakit diabetes dan penyakit jantung pada awal studi juga diperhitungkan.

Kendati penelitian ini hanya melibatkan responden laki-laki, para peneliti mengatakan bahwa risikonya tidak jauh berbeda dibanding perempuan. "Pasangan kita biasanya lebih peduli pada gejala atau tanda penyakit yang kita derita sehingga lebih cepat mendapat perawatan. Akibatnya, risiko terjadinya komplikasi atau stroke yang fatal akan berkurang," urai Lackland.

SEKS PASCA STROKE

Sumber : YASTROKI

Benarkan stroke yang mengakibatkan kelumpuhan sebelah anggota tubuh sebagai kondisi yang ??mengharamkan?? mereka melakukan hubungan seksual, sehingga menyebabkan mereka tidak peduli lagi dengan seks? Bagaimana melakukan hubungan seksual yang benar bagi suami atau istri pasca stroke?

Kepala Biro Konsultasi Kesejahteraan Keluarga PK Sint Carolus, Jakarta, Dr Gerard Paat, MPH mengatakan, mitos yang mengharamkan penderita stroke melakukan hubungan seks perlu dihapus, karena kebanyakan pasien stroke tidak hanya mampu melakukan hubungan seks dengan keterbatasannya itu, tetapi juga membutuhkannya terutama bila pasien tersebut pria. Bahkan, minat seks pada penderita tetap ada, terutama pada minggu-minggu pertama pasca stroke.
Ditambahkannya, pada umumnya fungsi seksual pasca stroke sedikit atau banyak akan terganggu. Gangguan tersebut dapat berupa penurunan gairah seksual, gangguan ereksi atau ejakulasi (pada pria), berkurangnya kebasahan vagina dan menurunnya kepakaan alat kelamin sampai gangguan orgasme (pada wanita).
Pada pasien dengan kelumpuhan unilateral, gangguan/hambatan dalam melaksanakan kegiatan seksual dapat disebabkan berbagai faktor, seperti gangguan ereksi penis pada awal kecacatan, ejakulasi dini, kesulitan dalam posisi, refleks yang meninggi, keengganan yang dirasakan oleh pasangan terhadap bagian tubuh yang cacat maupun hambatan dalam komunikasi verbal (menyebabkan komunikasi seksual pun terganggu) dan lain sebagainya.
Dalam melakukan hubungan seksual pada penderita stroke ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
?h Pertama, perilaku yang mengalami perubahan tergantung pada kerusakan otak. Kerusakan pada otak bagian kanan membuat penderita terlalu yakin dan tidak sabar yang dapat menyebabkannya bersifat implusif, kaku; yang dapat mengganggu fungsi seksual. Pada keadaan ini perlu menambah konsentrasi. Sedangkan kerusakan pada otak bagian kiri akan membuatnya sangat hati-hati, bahkan ragu-ragu untuk berhubungan seksual atau amat lambat dalam reaksi dan gerakannya. Di sini diperlukan pemberian semangat untuk membantunya meningkatkan keberanian.
?h Kedua, adanya perubahan emosi yang cepat. Di sini pasangan harus mampu menanggapinya sebagai sesuatu yang tidak bersifat pribadi. Bila muncul depresi gairah seks dapat amat berkurang. Mintalah petunjuk pada ahli atau teman senasib yang sudah pengalaman.
?h Ketiga, beberapa konsekuensi fisik dapat terjadi seperti kelumpuhan atau kehilangan rasa yang dapat mengganggu kegiatan seks. Dalam hal ini penting sekali untuk mencari dan menemukan bagian-bagian tubuh yang masih sensitif dan berusaha merangsang bagian yang tidak lagi sensitif. Perangsangan tersebut tidak akan berakibat buruk malahan dapat mengembalikan sensasi/fungsi bagian tersebut. Dan upayakanlah agar waktu perangsangan lebih lama.
?h Keempat, menggunakan posisi persetubuhan yang biasanya menyenangkan tentu tidak akan sulit. Carilah letak yang paling cocok yang tidak mengurangi keleluasaan gerak. Bila istri pasangan yang sehat, istri aktif tentunya lebih cocok.
?h Kelima, kejang otot dapat saja terjadi sewaktu berhubungan seks. Walaupun kadang-kadang menakutkan, keadaan ini tidak berbahaya dan hubungan seks dapat diteruskan.
?h Keenam, pada keadaan tertentu dengan petunjuk dokter dapat digunakan alat bantu seperti vibrator atau untuk merangsang gairah yang rendah gunakanlah bahan bacaan atau tontonan yang merangsang.
Beberapa keterbatasan yang dialami pasca stroke kadang dibuat lebih rumit lagi dengan rasa khawatir penderita terhadap kemungkinan terkena stroke lagi karena hubungan seks. Sebenarnya kekhawatiran tersebut tidak berdasar sama sekali. ??Memang penderita stroke harus menghindari hubungan seks bila banyak makan, sedang capai atau takut. Namun sebaliknya pula ketika berhubungan seks suhu kamar dan kondisi kamar harus nyaman dan tenang,?? ujar Gerard.
Karenanya kepada mereka yang memiliki pasangan penderita stroke diingatkan bahwa peranan pasangan menjadi sangat penting dalam seks pasca stroke. Dalam arti, diperlukan sikap pasangan yang positif dan selalu membari semangat, berperilaku sabar dan tekun, tidak pernah mengomel atau mengejek terhadap penderita, serta menunjukkan cinta kasih yang mau berkorban dan penuh pengertian.

Klasifikasi Stroke Iskemik

Berikut adalah klasifikasi stroke iskemik berdasarkan penyebabnya :
1. Stroke Emboli
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial maupun emboli paradoxical melalui patent foramen ovale. Sumber emboli cardiogenik termasuk thrombus valvular (seperti mutral stenosis, endoraditis, katup prostetik), thrombus mural (seperti infark myocardm fibrilasi atrial, cardiomyopathy dilatasi, CHF dan atrial myxoma). MI berhubungan dengan 2-3% insidensi stroke emboli, dimana 85% kasus terjadi pada bulan pertama setelah MI.
2. Stroke Thrombosis
Stroke thrombosis dapat mengenai pembuluh darah besar termasuk sistem arteri carotis atau pembuluh darah kecil termasuk percabangan sirkulus wilis dan sirkulasi posterior. Tempat yang umum terjadi thrombosis adalah titik percabangan arteri serebral khususnya distribusi arteri carotis interna. Stenosis arteri dapat mengakibatkan aliran darah yang turbulen dan meningkatkan resiko tebentuknya thrombus, atherosclerosis (seperti plak ulserasi), dan perlengketan plateler yang kesemuanya dapat menyebabkan pembentukan bekuan darah juga emboli atau oklusi pada arteri.
Penyebab yang umum dari thrombosis adalah polisitemia, defisiensi protein C, dysplasia fibromuscula pada arteri serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan pada gangguan migraine headache. Berbagai proses diseksi dari arteri serebral juga dapat menyebabkan stroke thrombosis seperi trauma, diseksi aorta thoracalis dan arteritis. Hipoperfusi distal akibat stenosis atau oklusi arteri atau hipoperfusi area diantara dua arteri serebral dapan menyebabkan stroke iskemik.
Berikut adalah klasifikasi stroke iskemik berdasarkan arteri yang terkena dan gejala yang ditimbulkannya :
1. Sindrom Arteri Serebral Medial
Oklusi arteri serebl meadial biasanya disebabkan oleh emboli. Stenosis arteri serebral medial dengan atau tanpa oklusi thrombotic lebih jarang terjadi.
2. Sindrom Arteri Serebral Anterior
Oklusi arteri serebral anteri juga biasa disebabkan oleh emboli. Oklusi cabang arteri serebral anterior sering tidak begitu mencolok karena adanya aliran darah dari arteri komunikana anterior. Namun demikian ketika ada oklusi pada percabangan utamanya akan menghasilkan defisit yang berat pada dareah yang diperdarahi.
3. Sindrom Arteri Carotis
Oklusi carotid dapat menghasilkan symptom melalui 2 cara yaitu melalui hipoperfusi sekunder akibat stenosis atau oklusi atau dengan adanya emboli. Walau dengan adanya stenotis yang ringan, ulserasi dan plak ateroma dapat menjadi pembentukan thrombus dan putensia sebagai sumber emboli.
4. Sindrom Arteri Serebral Posterior
Arteri serebral posterior dapat mangalami oklusi akibat emboli dan thrombosis
5. Sindrom Artery Vertebrobasilar
Lebih jarang terjadi dibandingkan iskemia sirkulasi anterioe, oklusi arteri basilar dan vertebral dapat disebabkan thrombosis dan emboli.
6. Infark Serebellar
Infark serebelar biasa menyebabkan pusing, mual, muntah, nistagmus dan ataksia. Sering terdapat ataksia tumit-lutut dan telunjuk-hidung. Lebih dari 1 sampai 3 hari, akan terjadi edema pada serebellum yang menyebebkan timbulnya gejala-gejala penekanan batang otak seperti conjugate eye, disfungsi N V ipsilateral dan palsy N VII ipsilateral. Kelainan ini akan berlanjut dengan cepat sampai koma maupun kematian. Pasien dengan manifestasi klinis tersebut harus dievaluasi dan diobservasi dalam beberapa hari sampai komplikasi penekanan batang otak dapat di dikurangi dengan dekompresi surgical pada fossa posterior.
7. Infark Lakunar
Tipe penyakit vascular yang khusus, memiliki karakteristik berupa penebalan hialin pada penetrasi arteri kecil pada otak (lipohialinosis) dan sering terjadi pada pasien diabetes mellitus dan hipertensi. Oklusi pada pembuluh darah ini menghasilkan infark cystic yang kecil dan dalam. Infark ini sering asimptomatis tapi bisa juga menyebabkan gejala seperti stroke motorik yang murni, stroke sensorik yang murni, clumsy hand-dysarthria syndrome, ataksia homolateral dan paresis crural, hemiparese motorik yang murni dengan parese kontralaeral dari gaze lateral dan optalmoplegia internuclear, lacuna sensorimotor, hemiparesis ataksia dan sebagainya. Diagnosi dapat diarahkan ketika EEG normal dengan manifestasi klinis seperti di atas. clumsy hand-dysarthria syndrome Oklusi primer arteri-arteri kecil merupakan mekanisme yang umum, arteri tersebut bisa juga menjadi target emboli dan mengalami oklusi akibat plak atherosclerosis pembuluh darah besarnya.

BOBATH

Konsep Bobath Konsep Awal (Original Concept)
Metode Bobath pada awalnya memiliki konsep perlakuan yang didasarkan atas inhibisi aktivitas abnormal refleks (Inhibition of abnormal reflex activity) dan pembelajaran kembali gerak normal (The relearning of normal movement), melalui penanganan manual dan fasilitasi.
Konsep Bobath Terkini
Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, maka konsep Bobath juga mengalami perkembangan dimana menggunakan pendekatan problem solving dengan cara pemeriksaan dan tindakan secara individual yang diarahkan pada tonus, gerak dan fungsi akibat lesi pada sistem saraf pusat.
Tujuan intervensi dengan metode Bobath adalah optomalisasi fungsi dengan peningkatan kontrol postural dan gerakan selektif melalui fasilitasi, sebagaimana yang dinyatakan oleh IBITA tahun1995.
“The goal of treatment is to optimize function by improving postural control and selective movement through facilitation.” (IBITA 1995
Tujuan yang akan dicapai dengan konsep Bobat:
-Melakukan identifikasi pada area-area spesifik otot-otot antigravitasi yang mengalami penurunan tonus.
-Meningkatkan kemampuan input proprioceptive.
-Melakukan identifkasi tentang gangguan fungsi setiap individu dan mampu melakukan aktivitas fungsi yang efisien “Normal”.
Fasilitasi specific motor activity .
Minimalisasi gerakan kompensasi sebagai reaksi dari gangguan gerak.
Mengidentifikasi kapan dan bagaimana gerakan menjadi lebih efektif.
Analisa tentang gerak normal (normal movement) menjadi dasar utama penerapan aplikasi metode ini. Dengan pemahaman gerak normal, maka setiap fisioterapis akan mampu melakukan identifikasi problematik gerak kepada setiap pasien/klien atas penyimpangan gerak akibat gangguan system saraf pusat.
Akibat adanya gangguan sistem saraf pusat (SSP) akan mengakibatkan abnormal tonus postural, dari abnormal tonus postural tersebut melahirkan gangguan atau abnormalitas pada umpan balik sensoris yang akhirnya memunculkan kompensasi gerak. Pada aktifitas gerak, maka tonus otot postural akan sangat menentukan efektifitas dan efesiensi gerak yang akan dihasilkan

Analisa Berjalan

Jalan merupakan salah satu cara dari ambulasi. Dengan sifat plastisitas pada sistem saraf akan membentuk pola tertentu, sehingga jika penanganan fisioterapi tidak sesuai dengan pola jalan yang benar, maka pasien mungkin akan mampu untuk berjalan akan tetapi dengan pola yang tidak tepat. Apabila proses berjalan dilakukan dengan pola yang tidak tepat, maka aktivitas berjalan menjadi sangat sulit, walaupun kekuatan otot sudah sangat adekuat.
Untuk itu perlu mempelajari pola jalan yang benar, sehingga mampu melakukan koreksi dengan tepat.
Pada manusia ini dilakukan dengan cara bipedal (dua kaki). Dengan cara ini jalan merupakan gerakan yang sangat tidak stabil. Meski demikian pada orang normal jalan hanya membutuhkan sedikit kerja otot-otot tungkai. Pada gerakan ke depan sebenarnya yang memegang peranan penting adalah momentum dari tungkai itu sendiri atau akselerasi. Kerja otot justru lebih banyak pada saat deselerasi.

Pola berjalan
Dalam berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu fase menapak (stance phase) dan fase mengayun (swing phase). Ada pula yang menambahkan satu fase lagi, yaitu fase dua kaki di lantai (double support) yang berlangsung singkat. Fase double support ini akan semakin singkat jika kecepatan jalan bertambah, bahkan pada berlari fase double support ini sama sekali hilang, dan justru terjadi fase dimana kedua kaki tidak menginjak lantai.
Fase menapak (60%) dimulai dari heel strike atau heel on, foot flat, mid stance, heel off dan diakhiri dengan toe off atau ball off.
Sedangkan fase mengayun (40%) dimulai dari toe off, swing dan diakhir dengan heel strike.
Perry mengklasifikasikan fase jalan ini secara fungsional, yang terbagi atas fase menapak (initial contact, loading response, midstance, terminal stance dan preswing) dan fase mengayun ( initial swing, midswing dan terminal swing).
Beberapa istilah dalam jalan:
Cadence: jumlah langkah per menit (irama jalan)
One gait cycle: dihitung dari heel strike sampai heel strike lagi pada kaki yang sama.
Step length: jarak (panjang) antara tumit kanan dan kiri saat melangkah
Stride width: jarak (lebar) antara tengah kaki kanan dan kiri saat melangkah
Stride length: jarak (panjang) antara tumit kanan ke tumit kanan berikutnya setelah melangkah

Komponen-komponen penting dalam berjalan

Fase menapak

- Ekstensi sendi panggul (hip)
- Geseran ke arah horizontal lateral pada pelvis dan badan
- Fleksi lutut sekitar 15o pada awal heel strike, dilanjutkan dengan ekstensi dan fleksi lagi sebelum toe off
Fase mengayun
- Fleksi lutut dengan awalan hip ekstensi
- Pelvic tilt kearah lateral bawah pada saat toe off
- Fleksi hip
- Rotasi pelvis ke depan saat tungkai terayun
- Ekstensi lutut dan dorsifleksi ankle dengan cepat sesaat sebelum heel strike
Neuroplasticity
Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas merupakan sifat yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradabtasi terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf (neurochemical), penerimaan saraf (neuroreceptive) , perubahan struktur neuron saraf dan organisasi otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan kematangan sistem saraf.
Untuk memberikan gambaran tentang plastisitas, maka penulis memberikan ilustrasi dengan membandingkan antara sifat plastisitas dan elastisitas.
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut;
Suatu benda dengan bentuk awal segi empat jika diberi intervensi atau dimanipulasi untuk membentuk segi tiga, maka pada saat proses dilakukan benda berbentuk segi tiga akan tetapi pada akhirnya benda tersebut akan kembali pada bentuk awalnya, hal ini disebut sebagai kemampuan elestisitas.
Jika bentuk awal suatu benda berbentuk segi empat kemudian diberikan intervensi untuk membentuk segi tiga, maka pada saat proses dilakukan benda akan membentuk segi tiga dan juga menjadi bentuk akhir dari benda tersebut, hal ini disebut sebagai kemampuan plastisitas.
Dengan demikian jelas bahwa sifat elastisitas berbeda dengan sifat plastisitas. Sifat elastik artinya kemampuan suatu benda untuk dapat kembali pada bentuk asalnya, sedangkan sifat plastisitas menunjukkan kemampuan benda untuk berubah kedalam bentuk yang lain.
Nilai positif dari adanya sifat plastisitas adalah pada pasien stroke menjadi potensi untuk dapat dikembangkan dan dibentuk sehingga dapat menghasilkan gerak yang fungsional dan normal.
Nilai negatif dari adanya sufat plastisitas adalah jika metode yang diberikan tidak tepat, maka akan terbentuk pola yang tidak tepat pula.
Central Pattern Generators (CPGs)
Central Pattern Generators (CPGs) merupakan kumpulan neuron atau sirkuit neurologis yang dapat melakukan koordinasi gerakan secara umum, ritmik dan otomatik.
CPGs berada pada batang otak dan medulla spinalis. Pembahasan tentang CPGs belum terlalu jauh dalam beberapa literatur, akan tetapi keberadaan CPGs mengakibatkan perubahan sudut pandang tentang mekanisme kerja sistem saraf dari pola pikir sebelumnya.
Pada awalnya para ahli neurologis memandang proses perjalanan impuls berdasarkan pandangan Sherington yang terkenal dengan Hirarcic Models, dimana dijelaskan bahwa terdapat 4 level yaitu level tertinggi/level IV merupakan kerja dari kortex yang menuju pada level III yaitu thalamus, dilanjutkan ke level II yaitu pada brain stem dan berakhir pada level I yaitu spinal cord.
Dalam hirarki klasik refleks, bahwa respon yang diberikan dari setiap stimuli menempati tingkatan-tingkatan tertentu pada area spesifik di sistem saraf. Pada spinal cord untuk phasic reflex, Batang otak (Brain stem) untuk postural refleks, Mid brain untuk rightting dan corteks.
Dalam konsep tersebut menjelaskan bahwa CNS merupakan strukur yang sangat kaku (rigid). Sementara perkembangan neurosains menunjukkan bahwa CNS memiliki memiliki sifat multikoneksi dan sangat kompleks.
Keberadaan CPGs menghasilkan aktifitas fungsional gerak menjadi lebih bersifat reguler. Sebagai contoh pada proses berjalan, seseorang melakukan aktivitas berjalan dengan ritmik, teratur dan terarah dengan fase-fase dan pola yang tepat tanpa berfikir langkah demi langkah. Proses berjalan dari satu langkah ke langkah berikutnya terjadi secara otomatis dan reguler, hal ini menunjukkan adanya peran yang besar dari CPGs dalam aktivitas berjalan
tersebut.
Dengan demikian, intervensi yang diberikan pada pasien stroke dalam proses pembelajaran motorik atau motor relearning hendaknya mempertimbangkan aktivitas CPGs dalam setiap latihan gerak yang dilakukan.Keterlibatan CPGs dapat ditingkatkan dengan pemberian latihan yang ritmik, pola yang normal, dan merupakan latihan dengan gerak yang bersifat fungsional.
Gravitasi pada gerak
Pada aktifitas gerak, maka tonus otot postural akan sangat menentukan efektifitas dan efesiensi gerak yang akan dihasilkan. Beberapa hal yang berhubungan dengan tonus otot postural dapat digambarkan sebagai berikut :D ari gambar diatas dapat menjelaskan bahwa tonus postural dipengaruhi oleh adanya gaya gravitasi, Centre of Gravity (COG), Ground Reaction Force (GRF) dan Base of Support (BOS).
Gaya gravitasi dan GRF merupakan kekuatan eksternal (eksternal force) yang memberikan tekanan terus-menerus kepada tubuh. Besar tekanan gravitasi sama dengan besar tekanan Ground Reaction Force (GRF). Kedua tekanan tersebut memberikan informasi sehingga tubuh dapat melakukan prediksi untuk menjaga keseimbangan berupa penyesuaian pada BOS dan COG agar dapat tetap seimbang. Sehingga kemampuan tubuh untuk tetap tegap merupakan reaksi dari otot postural yang melawan gaya gravitasi dan GRF.Dari gambar menunjukkan bahwa perubahan posisi tubuh akan diikuti oleh perubahan letak COG yang memungkinkan tubuh tetap seimbang.
Sedemikian pentingnya tonus otot postural yang adekuat dalam memberikan stabilisasi untuk menghasilkan gerakan, maka salah satu fokus utama dalam intervensi ini adalah meningkatkan aktifasi dari otot-otot postural tersebut, dengan beberapa bentuk latihan yang kita sebut sebagai core stability exercise.

Keseimbangan pada stroke

Gangguan Keseimbangan Pada Pasien Stroke
Pasien dengan Stroke akan mengalami banyak gangguan-gangguan yang bersifat fungsional. Gejala stroke dapat bersifat fisik, psikologis, dan atau perilaku. Gejala fisik paling khas adalah hemiparalisis, kelemahan, hilangnya sensasi pada wajah, lengan atau tungkai di salah satu sisi tubuh, kesulitan bicara dan atau memahami (tanpa gangguan pendengaran), kesulitan menelan dan hilangnya sebagian penglihatan di satu sisi.
Kelemahan ektremitas sesisi, kontrol tubuh yang buruk serta ketidak stabilan pola berjalan merupakan aspek-aspek pada pasien stroke yang tidak terpisahkan. Kelemahan dari lengan, kedua tungkai, kelemahan sebagian otot-otot wajah merupakan hal umum yang terjadi pada pasien stroke. Walaupun demikian, itu semua berhubungan dengan masalah pada otot-otot aksial yang melemahkan kontrol tubuh dan proses berjalan.
Pasien dengan stroke juga akan mengalami berbagai gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan berdiri pada pasien stroke berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengatur perpindahan berat badan dan kemampuan gerak otot yang menurun sehingga kesetimbangan tubuh menurun. Pasien dengan stroke berulang memiliki masalah dengan kontrol postural, sehingga menghambat gerakan mereka. Keseimbangan juga merupakan parameter bagi pasien stroke terhadap keberhasilan terapi mereka.
Pada pasien stroke, mereka berusaha membentuk gerakan kompensasi untuk gangguan kontrol postur mereka, kompensasi ini tidak selalu menjadi hasil yang optimal. Pasien dengan gangguan keseimbangan yang moderat hingga berat menggunakan banyak gerakan tambahan sebagai kompensasi dari defisit motorik nya, sedangkan untuk pasien dengan gangguan keseimbangan yang ringan, mereka memiliki kemampuan melakukan gerakan yang hampir sama dengan pola gerak normal.
Gangguan fungsi keseimbangan terutama saat berdiri tegak, merupakan akibat stroke yang paling berpengaruh pada faktor aktivitas sejak kemampuan keseimbangan tubuh dibidang tumpu mengalami gangguan dalam beradaptasi terhadap gerakan dan kondisi lingkungan.
Gangguan sensoris dan motorik post stroke mengakibatkan gangguan keseimbangan termasuk kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan lunak, serta gangguan kontrol motorik dan sensorik. Fungsi yang hilang akibat gangguan kontrol motorik pada pasien stroke mengakibatkan hilangnya koordinasi, hilangnya kemampuan merasakan keseimbangan tubuh dan postur (kemampuan untuk mempertahankan posisi tertentu). Kesulitan membentuk dan mempertahankan postur yang tepat dapat diketahui saat pasien melakukan gerakan ke berdiri maupun ke duduk. Pasien-pasien yang mengalami gangguan sensasi posisi tubuh akan cenderung ke arah vertikal.
Penurunan fungsi otot pada ekstremitas bawah mengakibatkan penurunan kemampuan untuk menyanggah, menahan dan menyeimbangkan massa tubuh. Selain itu terjadi kesulitan untuk memulai, mengarahkan, mengukur kecepatan kemampuan otot untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. Keterlambatan untuk aktivitas otot dan melambatnya pembentukan gerakan memperngaruhi stabilitas serta respon kecepatan keseimbangan tubuh. Karena hal tersebut diatas menyebabkan banyak dari pasien stroke mengalami penurunan kemampuan hingga terjatuh saat mulai gerakan berdiri dan berjalan.
Perubahan adaptasi otot tubuh berupa penurunan kemampuan panjang otot dan kekakuan mempengaruhi kontraksi otot dan keseimbangan. Penurunan elastisitas jaringan lunak dan pemendekan otot membatasi mobilitas sendi di pergelangan kaki mempengaruhi pasien stroke geriatri (Vandervoort, 1999).
Disfungsi sistem sensoris dan persepsi-kognitif berpengaruh negatif pada kemampuan keseimbangan duduk serta berdiri, saat fase akut post stroke juga di ikuti gangguan somatosensoris, labyrinthine, fungsi visual, defisiensi propriosepsi dan kognitif. Salah satu penyebab gangguan menapak juga karena hilangnya sensasi kulit pada area plantar telapak kaki.

SUMBER : danar88.wordpress